HUKUM MEMPERTONTONKAN KEMALANGAN NASIB SESEORANG UNTUK MELEJITKAN POPULARITAS PADA MEDIA SOSIAL

 Sumber Gambar: detiknews.com


HUKUM MEMPERTONTONKAN KEMALANGAN NASIB SESEORANG UNTUK MELEJITKAN POPULARITAS PADA MEDIA SOSIAL

Media sosial merupakan salah satu aplikasi yang digunakan oleh semua orang dari kalangan anak kecil sampai orang tua dan sebagai sarana yang digunakan untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan berbagai kabar serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dalam komunitas virtual. Media sosial ini juga banyak digunakan oleh para influencer dan para content creator untuk mengembangkan bakatnya. Yang mana dalam hal ini influencer sendiri adalah orang yang memberikan pengaruh, untuk mendorong dalam menginspirasi orang lain melalui berbagai kontennya antara lain, konten Pendidikan, konten bisnis, dll. Adapun content creator sendiri adalah orang yang membuat dan membagikan konten di media digital, seperti : konten gambar, tulisan, video, suara, atau dari gabungan elemen lainnya.

Dalam hal ini fenomena yang terjadi sekarang salah satunya adalah melejitnya popularitas di media sosial yang mana dalam fenomena ini terdapat ketidaksesuaian antara unsur kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan kehidupan sosial. Sebagai bentuk untuk melejitkan popularitas di media sosial pada zaman sekarang ini adalah para influencer menggunakan berbagai cara mulai dari memberikan gift dengan syarat tertentu yang kemudian akhirnya terkesan mempertontonkan kemalangan seseorang atas kekurangan finansial ataupun yang lainnya, seperti beberapa berita viral saat ini yaitu ada sebuah video seorang content creator memberikan hadiah yang tidak seberapa tetapi orang tersebut diajak membuat konten dalam kehidupan sehari–harinya, kemudian ada lagi sebuah video tiktok anak kecil mengajak ibunya untuk mandi lumpur, selanjutnya orang tua live tiktok agar viral di media sosial, ada juga seorang live tiktok dengan memperlihatkan video anak disabilitas dan panti asuhan yang sedang tidur, dll.

Bolehkah kita mempertontonkan kemalangan nasib seseorang untuk popularitas agar viral ?

Jawab :

  1. Tidak boleh 

Dalam Kamus al-Muhid aib adalah suatu kekurangan atau kecacatan yang dapat terlihat pada suatu benda, sifat, atau keadaan.

الْعَيْبُ: الْوَصْمَةُ، النَّقِيصَةُ وَعَيْنَ الرِّضَا عَنْ كُلِّ عَيْبٍ كَلِيلَةٌ

“ Al-‘Aib adalah cacat, kekurangan, dan sesuatu yang mengurangi setiap kesempurnaannya.”


Berdasarkan keterangan diatas bentuk dari ‘aib adalah cacat fisik maupun psikis, kekurangan seseorang meliputi kemalangan nasib, kondisi yang memprihatinkan, serta ketidakmampuan seseorang dalam menghadapi suatu permasalahan. Sehingga apabila seseoarang tersebut mempertontonkan atau membicarakan ‘aib (diri sendiri maupun orang lain) tersebut, maka hukumnya Tidak Boleh, seperti yang dijelaskan pada kitab Is’adur Rofiq juz 2 halaman 156  :

﴿ وَ ﴾ مِنْهَا النَّظَرُ شَزَرًا إِلَى الْمُسْلِمِ فَإِنَّهُ ﴿ يَحْرُمُ النَّظَرُ بِالاِسْتِحْقاَرِ﴾ أَوِالْاِسْتِخْفَافِ ﴿ إِلَى ﴾ أَىِّ ﴿ مُسْلِمٍ ﴾ كَانَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ صَغِيْرًا أَوْ كَبِيْرًا قَالَ لَاتُحَاسِدُوْا الْحَدِيْثِ وَقَالَ فِى آخِرِهِ بِحَسَبِ اَمْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَْنْ يُحَقِّرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمِ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمِّهِ وَمَالِهِ وَعَرَضِهِ قَالَ الْقُرْطُبِي فِىَّ تَفْسِيرِ قَوْلِهِ بِئْسَ الْاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْاِيْماَنِ مِنْ لَقَبٍ  أَخَاهُ وَسَخَرَبِهِ فَهُوَ فَاسِقٌ وَالسُّخْرِيَّةُ الْاِسْتِحْقَارِ وَالْاِسْتِهَانَةِ وَالتَّنْبِيْهِ عَلَى الْعُيُوبِ وَالنَّقَائِصِ  بِوَجْهٍ يَضْحَكُ مِنْهُ وَقَدْ تَكُوْنُ بِاِمْلِحَاكَاةِ بِالْفِعْلِ وَالْقَوْلِ أَوِ الْاِشَارَةِ أَوِ الْاِيْمَاءِ أَوِ الضَّحَكِ عَلَى كَلَامِهِ اِذَا تَخَبَّطَ فِيهِ أَوْ غَلَطِهِ أَوْ عَلَى صُنْعَتِهِ أَوْ قُبْحِ صُوْرَتِهِ وَقَدْ عَدَّفِى الزَّوَاجِرًا الْاِسْتِهْزَاءِ وَالسُّخْرِيَّةِ بِاالْمُسْلِمِ مِنَ الْكَبَائِرِ (اسعاد الرفيق: ج ١، ص ١٥٦) 

" Diantaranya adalah memandang seorang muslim dengan pandangan sinis (nista), karena diharamkan memandang dengan penghinaan meremehkan kepada siapa saja dari kaum muslimin, baik yang kecil maupun yang besar. Rosulullah bersabda: Cukuplah seseorang dianggap buruk jika ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim yang lainnya diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya. Al Qurtubi dalam tafsirannya menjelaskan firman Allah, “ Seburuk buruk nama adalah kefasikan setelah beriman” (Al Hujurot: 11), bahwa siapa yang memanggil saudaranya dengan julukan buruk atau memperoloknya, maka ia termasuk fasik. Perolokan adalah tindakan penghinaan, meremehkan, atau menonjolkan kekurangan dan cacat seseorang dengan cara yang membuat orang lain tertawa. Hal ini dapat dilakukan melalui tiruan perbuatan, ucapan, isyarat, sindiran, atau bahkan dengan tertawa terhadap ucapan seseorang saat ia salah bicaraatau keliru, terhadap pekerjaannya, terhadap bentuk tubuhnya yang dianggap buruk atau terhadap kekurangannya. Diketahui bahwa dalam ajaran islam memperolok atau menghina seseorang muslim termasuk dosa besar. “ (Is’adur Rofiq, 2; 156)

Media sosial merupakan sarana semua orang untuk mencari pengakuan atau perhatian orang lain. Beberapa individu mungkin merasa terpaksa memamerkan kesulitan dan kemalangan nasib mereka sendiri, atau mempertontonkan kemalangan nasib yang ditimpa oleh orang lain. Mereka mungkin memperlihatkan sisi terburuk dari hidup mereka, bahkan melibatkan orang lain dalam mengungkapkan sisi negatif dengan mengumbar ‘aib dari hidup orang lain dengan tujuan memperoleh simpati, pengikut, pengakuan sosial, bahkan keuntungan secara finansial. Hal tersebut membuat mereka lupa bahwasannya mereka memiliki kewajiban dalam menutup ‘aib diri sendiri maupun ‘aib orang lain. Seperti keterangan yang dijelaskan dalam al-minhaj syarah an Nawawi ala Shohih Muslim, Juz 16 halaman 143 : 

 (لَا يَسْتُرُ اللهُ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلَّا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ) قَالَ الْقَاضِي يُحْتَمَلُ وَجْهَيْنِ أَحَدُهُمَا أَنْ يَسْتُرُ مَعَاصِيَهُ وَعُيُوبَهُ عَنْ إِذَاعَتِهَا فِي أَهْلِ الْمَوْقِفِ وَالثَّانِي تَرْكُ مُحَاسَبَتِهِ عَلَيْهَا وَتَرْكُ ذِكْرِهَا قَالَ وَالْأَوَّلُ أَظْهَرُ لِمَا جَاءَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ يُقَرِّرُهُ بِذُنُوبِهِ يَقُولُ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ وَأَمَّا الْحَدِيثُ الْمَذْكُورُ بَعْدَهُ لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا إِلَا سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيامَةِ فَسَبَقَ شَرْحُهُ قَرِيْباً (المنهاج شرح صحيح مسلم بن الحجاج: ج ١٦، ص١٤٣)

(Allah tidak menutupi (aib) seorang hamba di dunia, kecuali Allah akan menutupi (aib) hamba tersebut pada hari kiamat) al Qodhi berkata ada dua pandangan salah satunya Allah menutupi dosa-dosanya dan aib-aibnya dari tersebar atau diketahui oleh orang-orang di tempat berkumpul (di Hari Kiamat). Yang kedua Allah tidak akan menghisabnya (menghitung dan mempermasalahkan dosa-dosanya), dan tidak akan menyebutkan dosa-dosanya itu. Beliau berkata: Pendapat pertama lebih kuat (lebih jelas) berdasarkan hadis lain yang menyebutkan bahwa Allah akan mengingatkan hamba tersebut atas dosa-dosanya seraya berkata, Aku telah menutupinya untukmu di dunia, dan Aku mengampuninya untukmu hari ini. Adapun hadis yang disebutkan setelah ini: 'Tidaklah seorang hamba menutupi (aib) hamba lain, melainkan Allah akan menutupi (aib) hamba tersebut di Hari Kiamat,' penjelasan hadis ini telah dijelaskan sebelumnya.” (al-Minhaj Syarah an Nawawi ala Shohih Muslim, 16; 143)


  1. Boleh

Menurut Kitab Anwarul Buruf Fi Anwa’il Furuq Juz 4 hal 4 halaman 231, Boleh apabila adanya kebutuhan yang mendesak untuk memberikan nasihat , maslahat atau  kepentingan tertentu.

وَأَمَّا أَبُو الْجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَبِهِ يُرَدُّ تَفْسِيرُ الْأَوَّلِ بِأَنَّهُ كِنَايَةٌ عَنْ كَثْرَةِ أَسْفَارِهِ فَذَكَرَ ﷺ فِيهِمَا مَا يَكْرَهَانِهِ لَوْ سَمِعَاهُ وَأُبِيحَ ذَلِكَ لِمَصْلَحَةِ النَّصِيحَةِ وَيُشْتَرَطُ فِي هَذَا الْبَابِ أَنْ تَكُونَ الْحَاجَةُ مَاسَّةً لِذَلِكَ وَأَنْ يَقْتَصِرَ النَّاصِحُ مِنْ الْعُيُوبِ عَلَى مَا يُخِلُّ بِتِلْكَ الْمَصْلَحَةِ خَاصَّةً الَّتِي حَصَلَتْ الْمُشَاوَرَةُ فِيهَا أَوْ الَّتِي يَعْتَقِدُ النَّاصِحُ أَنَّ الْمَنْصُوحَ شَرَعَ فِيهَا أَوْ هُوَ عَلَى عَزْمِ ذَلِكَ فَيَنْصَحُهُ وَإِنْ لَمْ يَسْتَشِرْهُ فَإِنَّ حِفْظَ مَالَ الْإِنْسَانِ وَعِرْضَهُ وَدَمَهُ عَلَيْك وَاجِبٌ (الفروق : ج ٤، ص٢٠٥-٢٠٦)

Dalam hal ini ada sesuatu yang tidak disukai meskipun mendengarkannya, namun hal tersebut dibolehkan demi kepentingan nasihat. Syarat dalam hal ini adalah adanya kebutuhan yang mendesak untuk memberikan nasihat tersebut. Selain itu, orang yang memberikan nasihat harus membatasi penyebutan kekurangan atau kesalahan hanya pada hal-hal yang mengancam kepentingan atau maslahat tertentu yang menjadi alasan diadakannya musyawaroh atau yang diyakini oleh pemberi nasihat sebagai sesuatu yang sedang dilakukan oleh pihak yang dinasihati atau yang hendak dilakukannya. Oleh sebab itu, pemberi nasihat berhak memberinya nasihat walaupun ia tidak diminta karena menjaga harta, kehormatan, dan keselamatan darah (jiwa) seseorang adalah kewajiban.” ( Al furuq, 4;205-206 )

 

Penulis : Zuhrotul Mas’udah

Perumus : Teguh Pradana, S.P

Mushohih : gus. M. Agung Shobirin, M. Ag



Daftar Pustaka

Al-Habib, Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba'alawi (W. 1242 H), Is’ad al-Rofiq, Al-Haramain, Jeddah : tanpa tahun, sebanyak 2 jilid


Al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyi al-Din Yahya Bin Sharaf (W. 676 H), al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Daar Ihya Al-Turath Al-Arabi, Beirut, 1392 H,  18 bagian yang disusun dalam 9 jilid.

       Al-Maliki, Abu al-'Abbas Syihabuddin Ahmad bin Idris bin Abdurrahman, (wafat 684 H), al-Furuq (Anwar al-Buruq fi Anwa' il-Furuq), Alam al-Kutub, disusun dalam 4 jilid.


=================================================================




============================================================




==========================================================




========================================================







Posting Komentar untuk "HUKUM MEMPERTONTONKAN KEMALANGAN NASIB SESEORANG UNTUK MELEJITKAN POPULARITAS PADA MEDIA SOSIAL"