Sumber Gambar: pinterest.id
HUKUM MENDIRIKAN SHALAT IED KHUSUS PEREMPUAN
Shalat Ied, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, adalah salah satu bentuk ibadah sunnah muakkadah yang dianjurkan untuk dilaksanakan secara berjamaah di lapangan atau masjid. Biasanya, shalat ini dipimpin oleh seorang imam laki-laki dan disertai dengan khutbah. Dalam pelaksanaan shalat Ied, terdapat beberapa rukun yang harus diperhatikan, antara lain niat, dua raka'at, takbiratul ihram, takbir tambahan, bacaan surah, dan disunnahkan untuk membaca 2 khutbah. Di raka'at pertama, setelah takbiratul ihram, diucapkan enam takbir tambahan, dan di raka'at kedua, diucapkan lima takbir tambahan. Setiap raka'at juga disertai dengan bacaan Al-Fatihah dan surah pendek.
Namun, dalam beberapa komunitas, terdapat praktik shalat Ied yang dilakukan khusus oleh jamaah perempuan, yang mana seorang perempuan menjadi imam, sementara khutbah tidak disampaikan. Jika dilihat dari rukun shalat Ied, praktik ini tetap mengikuti ketentuan dasar seperti niat, dua raka'at, dan serangkaian takbir tambahan.
Hal ini juga terjadi dalam pengalaman penulis, dimana sebagian jamaah perempuan di lingkungan rumah mendirikan shalat Ied khusus untuk perempuan, dengan imam perempuan. Praktik ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hukum Islam (fiqh) memandang pelaksanaan shalat Ied yang dilakukan secara eksklusif oleh perempuan, tanpa kehadiran laki-laki.
Pertanyaan :
Bagaimana hukum seorang perempuan menjadi imam dalam shalat?
Bagaimana hukum perempuan menghadiri sholat ied di masjid atau lapangan?
Jawaban :
Hukum seorang perempuan menjadi imam dalam shalat
Terdapat khilaf:
Tidak Boleh
Menurut Imam Sulaiman bin Yasar, Imam al-Hasan al-Bashri, dan Imam Malik yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam bagi siapa pun dalam shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Pandangan ini didasarkan pada kehati-hatian dalam menjaga tata aturan shalat jamaah yang umumnya dipimpin oleh laki-laki.
Makruh
Pengikut mazhab Hanafi memandang bahwa seorang perempuan menjadi imam hukumnya makruh, tetapi meskipun hukumnya makruh, shalat yang dilakukan tetap sah.
Boleh
Pendapat ini dipilih oleh Imam al-Sya'bi, Imam an-Nakha'i, dan Imam Qatadah, dan Madzhab Syafi’i dengan mengacu pada hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan pernah diizinkan Nabi Muhammad s.a.w untuk mengimami anggota keluarganya.
Keterangan ini terdapat dalam Kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 4, halaman 199.
وَقَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ يَسَارٍ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَمَالِكٌ لَا تَؤُمُّ الْمَرْأَةُ أَحَدًا فِي فَرْضٍ وَلَا نَفْلٍ قَالَ وَقَالَ أَصْحَابُ الرَّأْيِ يُكْرَهُ وَيَجْزِيْهِنَّ قَالَ وَقَالَ الشَّعْبِيُّ وَالنَّخَعِيُّ وَقَتَادَةُ تَؤُمَّهُنَّ فِي النَّفْلِ دُوْنَ الْفَرْضِ(وَاحْتَجَّ) أَصْحَابُنَا بِحَدِيْثِ أُمِّ وَرَقَةَ " أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا " رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَلَمْ يُضَعِّفْهُ وَعَنْ رَبْطَةَ الْحَنَفِيَّةِ قَالَتْ " أَمَّتْنَا عَائِشَةُ فَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ (المجموع شرح المهذب : ج ٤، ص ١٩٩)
“Berkata Sulaiman bin Yasar, Al-Hasan Al-Bashri, dan Malik: 'Seorang wanita tidak boleh menjadi imam bagi siapapun, baik dalam shalat wajib maupun sunnah.' Dan para ahli pendapat (Ahl ar-Ra'y) mengatakan: 'Hal itu dimakruhkan dan mencukupi mereka.' Dan berkata Al-Sha'bi, Al-Nakha'i, dan Qatadah: 'Mereka (wanita) boleh menjadi imam dalam shalat sunnah, tetapi tidak dalam shalat wajib. Dan mereka (Madzhab Syafi’i) mengemukakan dalil dengan hadis Ummu Warakah: 'Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjadi imam bagi keluarganya.' Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan beliau tidak melemahkannya. Dan dari Rabtah Al-Hanafiyyah, dia berkata: 'Aisyah telah menjadi imam bagi kami, dan dia berdiri di tengah-tengah kami dalam shalat wajib.” (Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 4: 199)
Hukum perempuan menghadiri shalat Ied di masjid atau lapangan
Sunnah
Dalam pandangan mazhab Syafi’i, bagi perempuan yang tidak menarik perhatian dianjurkan atau disunnahkan menghadiri shalat Ied
Makruh
Bagi perempuan yang gerak-geriknya menarik perhatian (dzawat al-hay'at), hukumnya makruh
Adapun jika perempuan dzawat al-hay'at tetap menghadiri shalat Ied di lapangan atau di masjid, maka dianjurkan memakai pakaian sederhana, menghindari atribut mencolok, dan menjaga kebersihan tanpa menggunakan wewangian. Ketentuan ini terutama berlaku bagi perempuan tua, sedangkan perempuan muda atau yang memiliki kemungkinan gerak geriknya dapat menarik perhatian dimakruhkan secara mutlaq menghadiri shalat Ied untuk menghindari potensi fitnah
Diterangkan dalam Kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 5, halaman 9.
أَمَّا الْأَحْكَامُ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ لِلنِّسَاءِ غَيْرِ ذَوَاتِ الْهَيْئَاتِ حُضُورُ صَلَاةِ الْعِيدِ وَأَمَّا ذَوَاتُ الْهَيْئَاتِ وَهُنَّ اللَّوَاتِي يُشْتَهَيْنَ لِجَمَالِهِنَّ فَيُكْرَهُ حُضُورُهُنَّ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوصُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَحَكَى الرَّافِعِيُّ وَجْهًا أَنَّهُ لَا يُسْتَحَبُّ لَهُنَّ الْخُرُوجُ بِحَالٍ وَالصَّوَابُ الْأَوَّلُ وَإِذَا خَرَجْنَ اُسْتُحِبَّ خُرُوجُهُنَّ فِي ثِيَابٍ بِذْلَةٍ وَلَا يَلْبَسْنَ مَا يُشْهِرُهُنَّ وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَتَنَظَّفْنَ بِالْمَاءِ وَيُكْرَهُ لَهُنَّ التَّطَيُّبُ لِمَا ذَكَرْنَاهُ فِي بَابِ صَلَاةِ الْجَمَاعَةِ هَذَا كُلُّهُ حُكْمُ الْعَجَائِزِ اللَّوَاتِي لَا يُشْتَهَيْنَ وَنَحْوِهِنَّ فَأَمَّا الشَّابَّةُ وَذَاتُ الْجَمَالِ وَمَنْ تُشْتَهَى فَيُكْرَهُ لَهُنَّ الْحُضُورُ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ خَوْفِ الْفِتْنَةِ عَلَيْهِنَّ (المجموع شرح المهذب: ج ٥، ص ٩)
“Adapun mengenai hukum, Imam Syafi'i dan para pengikutnya berpendapat bahwa dianjurkan bagi perempuan yang bukan termasuk "dzawat al-hay'at" (perempuan yang gerak geriknya tidak menarik perhatian) untuk menghadiri shalat Ied. Namun, bagi "dzawat al-hay'at," yaitu perempuan yang gerak geriknya dapat menarik perhatian, hukumnya makruh untuk menghadiri shalat Ied. Ini adalah pendapat yang menjadi pegangan dalam mazhab Syafi'i, sebagaimana ditegaskan oleh mayoritas ulama. Imam Rafi'i juga menyebutkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa perempuan tidak dianjurkan keluar rumah dalam keadaan apa pun. Namun, pendapat yang benar adalah pendapat pertama. Jika mereka tetap keluar, disarankan bagi mereka untuk mengenakan pakaian yang sederhana dan tidak mencolok, serta menghindari pakaian atau atribut yang dapat menarik perhatian. Mereka juga dianjurkan untuk menjaga kebersihan dengan menggunakan air, tetapi tidak dianjurkan menggunakan wewangian, sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan shalat berjamaah. Semua ketentuan ini berlaku untuk perempuan yang tidak menarik perhatian atau perempuan tua yang tidak diinginkan secara fisik. Namun, bagi perempuan muda, cantik, atau yang menarik perhatian, dimakruhkan menghadiri shalat Ied karena dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah baik bagi diri mereka maupun orang lain.” (Kitab Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 5:9)
Penulis : Yuana Putri Najwa
Perumus : Ust. Teguh Pradana, S.P
Mushohih : Gus Muhammad Agung Shobirin, M.Ag
Daftar Pustaka
al-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin bin Sharaf al-Nawawi (W. 676 H), al-Majmu' Syarh al-Muhadhab : Idarah al-Thiba'ah al-Maniriyah, Mathba'ah al-Tadhamun al-Ikhwani, Kairo : 1344 - 1347 H.
==================================================================
==================================================================
Posting Komentar untuk "HUKUM MENDIRIKAN SHALAT IED KHUSUS PEREMPUAN"