Hukum Panitia Meminta Uang Tambahan Biaya Perjalanan

 Sumber Gambar:  tribunnews.com


HUKUM PANITIA MENARIK UANG TAMBAHAN BIAYA PERJALANAN 

Sudah menjadi kebiasaan, setiap tahun selalu ada rombongan mudik para santri sesuai daerah asal masing – masing. Setiap orda (organisasi daerah) memiliki panitia rombongan mudik tersebut. Karena kontrak mobil yang digunakan untuk perjalanan mudik tidak mungkin digagalkan, panitia tetap memberangkatkannya meskipun dengan kondisi jumlah penumpang kurang dari kuota yang seharusnya terisi, sehingga berakibat kurangnya biaya penyewaan mobil. Misalnya, kuota penumpang sebenarnya 50 orang, dan hanya terisi 40 orang. Karena 10 orang tidak ikut mengakibatkan iuran mobil tersebut kurang. Karena tidak mau rugi, ditengah perjalanan panitia meminta uang tambahan kepada peserta rombongan. Dari kejadian ini banyak peserta rombongan yang merasa kecewa.

Bagaimana hukum panitia menarik uang tambahan biaya perjalanan seperti praktek diatas?

Tidak Boleh

Menurut kitab Bughyah al-Mustarsyidin hal 335 juz 1 jika panitia bukan berstatus sebagai wakil dari PO bis atau tidak memiliki akad yang sah dengan peserta terkait pengumpulan dana, maka penarikan tambahan untuk biaya iuran hukumnya tidak boleh. Hal ini karena penarikan tersebut termasuk dalam pungutan tanpa adanya akad yang sah, yang dapat dianggap sebagai praktik yang tidak sesuai dengan prinsip hukum Islam. Dalam konteks ini, panitia adalah pihak yang diberikan kuasa atau amanah oleh peserta untuk mengelola dan memungut dana atas nama mereka, berdasarkan akad atau perjanjian yang sah. Penarikan tambahan biaya oleh panitia tanpa adanya akad atau perjanjian yang sah dengan peserta tidak diperbolehkan karena termasuk pungutan yang tidak jelas dan dapat menimbulkan masalah hukum, baik dalam hukum Islam maupun hukum positif. Agar tindakan ini sah, harus ada persetujuan atau kontrak yang jelas antara panitia dan peserta terkait pengumpulan dana tambahan tersebut.

وَيَحْرُمُ اشْتِرَاطُ الأُجْرَةِ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ عَقْدٍ، بَلْ هُوَ مِنْ أَكْلِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ. نَعَمْ، إِنْ أَهْدَى نَحْوُ الزَّوْجِ لِلْمُلَفِّظِ شَيْئًا جَازَ قَبُولُهُ إِنْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ، وَعُلِمَ الدَّافِعُ عَدَمَ وُجُوبِهِ عَلَيْهِ. (بغية المسترشدين فتاوى المشهور: ج١، ص٣٣٥)

Diharamkan menetapkan upah tanpa adanya akad, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Namun, jika pihak seperti suami memberikan hadiah kepada pihak yang melaksanakan akad (misalnya penghulu), maka boleh diterima selama tidak disyaratkan sebelumnya, dan pemberi hadiah mengetahui bahwa hal tersebut tidak wajib atasnya.” (Bughyah al-Mustarsyidin Fatawi al-Masyhur 1:335)

Solusi

Kitab Maqasid al-Syariah al- Islamiyah Juz 1 Halaman 429 menyebutkan tabarru' (shadaqah sukarela) dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi kekurangan biaya iuran dalam suatu kegiatan atau program. Dalam konteks ini, tabarru' berarti pemberian sukarela tanpa paksaan dan tanpa mengharapkan imbalan apa pun, semata-mata demi membantu pihak lain. Dengan prinsip keikhlasan dan semangat tolong-menolong, peserta yang memiliki kemampuan dapat memberikan bantuan secara tabarru' untuk menutupi kekurangan biaya.  

Solusi ini tidak hanya sesuai dengan prinsip syariat yang mendorong kebajikan, tetapi juga menjaga keharmonisan antar peserta melalui solidaritas dan gotong royong. Dengan demikian, tabarru' dapat menjadi cara yang adil, fleksibel, dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan biaya, tanpa membebani peserta secara keseluruhan.

التَّبَرُّعَاتُ مِنْ عُقُودِ التَّمْلِيكِ.

التَّبَرُّعُ: لُغَةً التَّطَوُّعُ بِغَيْرِ شَرْطٍ، وَفِي اصْطِلَاحِ الْفُقَهَاءِ: بَذْلُ الْمُكَلَّفِ مَالًا أَوْ مَنْفَعَةً لِغَيْرِهِ فِي الْحَالِ أَوْ فِي الْمَالِ بِلَا عِوَضٍ بِقَصْدٍ الْبِرِّ وَالْمَعْرُوفِ غَالِبًا. التَّبَرُّعَاتُ مِنَ التَّمْلِيكَاتِ وَهِيَ قَسِيمَةٌ لَهَا وَتَتَنَوَّعُ إِلَى: هِبَةٍ، وَوَصِيَّةٍ، وَوَقْفٍ، وَقَرْضٍ، وَعَارِيَةٍ .(مقاصد الشريعة الإسلامية:  ج ١، ص ٤٢۹)

“Tabarru' dari Akad Kepemilikan

Tabarru' dalam bahasa berarti memberikan secara sukarela tanpa syarat. Dalam istilah para ahli fikih, tabarru' adalah tindakan seseorang memberikan harta atau manfaat kepada orang lain, baik secara langsung maupun di masa depan, tanpa imbalan, dengan niat untuk kebaikan dan perbuatan mulia pada umumnya. Tabarru' termasuk dalam kategori kepemilikan dan memiliki cabang-cabangnya, yaitu: hibah, wasiat, wakaf, pinjaman, dan peminjaman sementara (’ariyah).” (Maqasid al-Syariah al-Islamiyah 1:429)

Penulis : Nur Azizah ., S.AB

Perumus : Ust. Teguh Pradana., S.P

Mushohih : Ust. Syafi’udin Fauzi., M.Pd


Daftar Pustaka

Ba'alawi, Al-'Allamah Sayyid 'Abdur Rahman, (W. 1320 H), Bughyah al-Mustarsyidin, Dar Al-Fikr, Lebanon, (1414 M)


At-Tunisi, Muhammad Ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur, (W. 1393 H), Maqashid Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, Wizarah Al-Awqaf wa Asy-Syu'un Al-Islamiyyah, Qatar, Cet. satu, (2004 M)

================================================================


=====================================================





Posting Komentar untuk "Hukum Panitia Meminta Uang Tambahan Biaya Perjalanan"