HUKUM PASUTRI KETIKA JIMA’ MEMBAYANGKAN MANTAN

 

Sumber Gambar: suara.com

HUKUM PASUTRI KETIKA JIMA’ MEMBAYANGKAN MANTAN  

Salah satu tujuan pernikahan adalah dihalalkannya jima’ bagi laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini terdapat suatu kasus dimana Layla sangat mencintai Qais dan sebaliknya. Namun, orang tua Layla tidak merestui hubungan asmara anaknya dengan Qais dan menikahkan Layla dengan seorang saudagar kaya. Bagaimanapun Layla harus menerima kenyataan yang telah terjadi. Layla tidak bisa melupakan dan selalu terbayang-bayang paras Qais. Sampai-sampai saat Layla berhubungan dengan suaminya, ia tidak bisa melupakan dan masih membayangkan Qais. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari. 

Bagaimanakah hukum pasutri yang ketika jima’ membayangkan mantan dengan kondisi tersebut?

Boleh, selama rasa cinta tersebut tidak berdampak pada hal-hal yang diharamkan menurut syariat karena manusia tidak memiliki kuasa untuk memaksakan permasalahan cinta dan perasaan. 

أَمَّا الْمَحَبَّةُ الْقَلْبِيَّةُ الَّتِي لَا تُوَلِّدُ ظُلْمًا عَمَلِيًّا لِإِحْدَاهُنَّ فَلَيْسَتْ مِنْ مُقَوِّمَاتِ الْعَدَالَةِ المَفْرُوضِ تَحْصِيلُهَا بَيْنَ الزَّوْجَاتِ ، لِأَنَّهُ لَا سُلْطَانَ لِلْإِنْسَانِ عَلَى قَلْبِهِ فِي مَوْضُوعِ الْمَحَبَّةِ ، وَلَعَلَّ هَذَا هُوَ الَّذِي عَنَاهُ الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ (النساء : ١٢٩). (الفقه المنهجي : ج ٤، ص ٣٦-٣٧) ٩

“Adapun cinta atau perasaan yang timbul dan tidak mengarah pada ketidakadilan  terhadap salah satu dari mereka, itu bukan salah satu unsur keadilan yang harus dicapai di antara para istri. Karena seseorang tidak memiliki kendali atas hatinya dalam hal cinta. Mungkin inilah yang dimaksud oleh al-Qur'an : "Dan kamu tidak akan mampu berlaku adil antara istri-istri(mu), meskipun kamu sangat ingin berbuat demikian" (An-Nisa’ : 129)”. (al-Fiqhu al-Manhaji, 4:37)

Catatan : 

Pikiran buruk yang muncul dalam hati seseorang, tidak dihukum selama orang tersebut tidak berniat untuk melakukannya. Jika niat itu muncul dan diteguhkan dalam hati (misalnya untuk melakukan zina), barulah orang tersebut dihitung sebagai melakukan dosa.

( فرع ) وَطِئَ حَلِيلَتَهُ مُتَفَكِّرًا فِي مَحَاسِنِ أَجْنَبِيَّةٍ حَتَّى خُيِّلَ إلَيْهِ أَنَّهُ يَطَؤُهَا فَهَلْ يَحْرُمُ ذَلِكَ التَّفَكُّرُ وَالتَّخَيُّلُ اخْتَلَفَ فِي ذَلِكَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُونَ بَعْدَ أَنْ قَالُوا إنَّ الْمَسْأَلَةَ لَيْسَتْ مَنْقُولَةً فَقَالَ جَمْعٌ مُحَقِّقُونَ كَابْنُ الْفِرْكَاحِ وَجَمَالُ الْإِسْلَامِ ابْنُ الْبِزْرِيِّ وَالْكَمَالُ الرَّدَّادِ شَارِحُ الْإِرْشَادِ وَالْجَلَالُ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُمْ يَحِلُّ ذَلِكَ وَاقْتَضَاهُ كَلَامُ التَّقِيِّ السُّبْكِيّ فِي كَلَامِهِ عَلَى قَاعِدَةِ سَدِّ الذَّرَائِعِ وَاسْتَدَلَّ الْأَوَّلُ لِذَلِكَ بِحَدِيثِ (إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا) وَلَك رَدُّهُ بِأَنَّ الْحَدِيثَ لَيْسَ فِي ذَلِكَ بَلْ فِي خَاطِرٍ تَحَرَّكَ فِي النَّفْسِ هَلْ يَفْعَلُ الْمَعْصِيَةَ كَالزِّنَا وَمُقَدَّمَاتِهِ، أَوْ لَا فَلَا يُؤَاخَذُ بِهِ إلَّا إنْ صَمَّمَ عَلَى فِعْلِهِ بِخِلَافِ الْهَاجِسِ وَالْوَاجِسِ وَحَدِيثِ النَّفْسِ وَالْعَزْمِ وَمَا نَحْنُ فِيهِ لَيْسَ بِوَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْخَمْسَةِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَخْطُرْ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ التَّفَكُّرِ وَالتَّخَيُّلِ فِعْلُ زِنًا وَلَا مُقَدِّمَةٌ لَهُ فَضْلًا عَنْ الْعَزْمِ عَلَيْهِ وَإِنَّمَا الْوَاقِعُ مِنْهُ تَصَوُّرُ قَبِيحٍ بِصُورَةِ حَسَنٍ فَهُوَ مُتَنَاسٍ لِلْوَصْفِ الذَّاتِيِّ مُتَذَكِّرٌ لِلْوَصْفِ الْعَارِضِ بِاعْتِبَارِ تَخَيُّلِهِ وَذَلِكَ لَا مَحْذُورَ فِيهِ إذْ غَايَتُهُ أَنَّهُ تَصَوُّرُ شَيْءٍ فِي الذِّهْنِ غَيْرُ مُطَابِقٍ لِلْخَارِجِ. (حواشى تحفة المحتاج في شرح المنهاج : ج ٧ ، ص٢٠٥)

"Dia menjima' istrinya sambil membayangkan tentang kecantikan wanita lain hingga dia merasa seolah-olah dia sedang menjimaknya. Lalu apakah berpikir dan membayangkan hal semacam itu menjadi haram? Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejumlah ulama mutaakhirin (ulama Syafi'iyah periode akhir) setelah mereka menyatakan bahwa masalah ini tidak memiliki sebab yang jelas. Sebagian ulama muhaqqiqin (ulama tahqiq), seperti Ibnu Farkah, Jamalul Islam Ibn al-Bizri, Imam Kamaludin ar-Raddad yang mensyarahi kitab al-Irsyad, Imam Jalaluddin, dan lainnya berpendapat bahwa hal tersebut diperbolehkan. Pendapat ini juga sesuai dengan ucapan Imam Taqiyuddin as-Subki dalam penjelasannya tentang kaidah menutup pintu kemudaratan (Sadd al-Dharā'i'). Mereka berpendapat dengan sebuah hadis: “Sesungguhnya Allah memaafkan apa yang terbesit dalam hati mereka, selama mereka tidak melakukan atau pun mengungkapkannya". Dan jawabannya adalah bahwa hadis tersebut bukanlah tentang hal demikian, melainkan tentang suatu pemikiran yang tergerak dalam jiwa, dan apakah seseorang akan melakukan maksiat seperti zina dan langkah-langkah yang mengarah kepadanya atau tidak. Maka seseorang tidak akan dihukum kecuali jika dia benar-benar bertekad untuk melakukan hal tersebut, berbeda dengan perasaan yang datang tanpa disadari (hawa nafsu), keraguan atau hanya sekedar pikiran dan niat. Dan apa yang kita perbincangkan ini bukanlah termasuk salah satu dari lima hal tersebut. Karena pada saat itu ia tidak terpikirkan untuk melakukan zina dan tidak ada langkah-langkah sebelumnya, apalagi niat untuk melakukannya. Yang terjadi hanyalah membayangkan sesuatu yang buruk dalam bentuk yang baik, sehingga ia tidak melanggar sifat dasar dan hanya mengingat sifat sementara berdasarkan imajinasinya. Hal ini tidak ada masalah karena tujuannya hanyalah membayangkan sesuatu dalam pikiran yang tidak sesuai dengan kenyataan”. (Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 7:205) 


Penulis : Aida Fitriyah Bisri, S.Psi

Perumus : Ust. Alfandi Jaelani, MT

Mushohih : KH. Afif Dimyati, S.Pd


Daftar Pustaka

al-Khan, Musthofa (W.1429), Musthofa al-Bugha, Ali asy-Syurbaji, al-Fiqhu al-Manhaji: Daar al-Kalam, Damaskus, Suriah: 1992, Sebanyak 8 jilid.

al-Haitami, Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hajar (W. 974 H), Tuhfah al-Muhtaj fi Syarhil Minhaj: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, Mesir: 1938, Sebanyak 10 jilid.

==================================================================

==================================================================

==================================================================

Posting Komentar untuk "HUKUM PASUTRI KETIKA JIMA’ MEMBAYANGKAN MANTAN "