HUKUM TRADISI MENANGKAL HUJAN

 


Sumber Gambar: suara.com

HUKUM TRADISI MENANGKAL HUJAN

Tradisi menangkal hujan yaitu meminta bantuan pawang hujan untuk mencegah turunnya hujan, sering dilakukan dalam berbagai acara penting seperti hajatan atau kegiatan besar. Pawang hujan menggunakan metode tertentu dalam ikhtiarnya agar hujan tidak turun saat acara berlangsung. Tradisi ini biasanya menggunakan berbagai metode seperti menggunakan sapu lidi, menaburkan garam dan masih banyak lagi.

Praktik ini memunculkan berbagai pertanyaan dari sudut pandang fiqih Islam. Menurut Islam, segala aspek kehidupan, termasuk cuaca, diyakini sepenuhnya berada dalam kuasa Allah SWT. Oleh karena itu, Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang adanya unsur kepercayaan terhadap kemampuan manusia atau praktik-praktik yang dianggap syirik, di mana seseorang menyerahkan takdirnya kepada selain Allah.

Masyarakat juga sering kali mengaitkan keberhasilan suatu acara dengan ketidakadaan hujan, sehingga memperkuat keyakinan mereka akan pentingnya peran pawang hujan dalam konteks sosial mereka. Oleh karena itu, tradisi menangkal hujan memunculkan diskusi tentang apakah tindakan ini melanggar akidah atau termasuk dalam kategori syirik karena bergantung pada kekuatan selain Allah, atau apakah tindakan ini dapat dianggap sebagai bentuk ikhtiar yang dibolehkan dalam syariat.

Bagaimana hukum tradisi menangkal hujan?

Tafshil:

  1. Jika menggunakan bacaan doa atau wirid yang diajarkan oleh syariat. Doa atau wirid ini disunnahkan, selama tidak mengandung unsur kesyirikan atau kekufuran.

  2. Jika menggunakan sapu lidi yang diletakkan dalam posisi terbalik hukumnya boleh, selama tidak diyakini bahwa sapu lidi tersebut memiliki kekuatan mutlak untuk menghentikan hujan. Sapu lidi hanyalah sarana atau perantara, dan pengaruh sebenarnya tetap bergantung pada kehendak Allah SWT.

  3. Jika menyewa pawang hujan dengan keyakinan bahwa pawang hanya sebagai perantara Hukumnya boleh (mubah), dengan syarat meyakini bahwa pawang hujan hanya bertindak sebagai perantara (wasilah) yang memohon kepada Allah SWT.

  4. Jika menyewa pawang hujan dan meyakini bahwa pawang hujan memiliki kemampuan mutlak yang menghentikan hujan tidak diperbolehkan, karena keyakinan seperti ini termasuk dalam bentuk kesyirikan dan dapat mengarah kepada kekufuran. Hal ini bertentangan dengan akidah bahwa Allah adalah satu-satunya pemilik kekuasaan.

فَمَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ الْأَسْبَابَ الْعَادِيَّةَ كَالنَّارِ وَالسِّكِّينِ وَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ تُؤَثِّرُ فِي مُسَبَّبَاتِهَا كَالْحَرْقِ وَالْقَطْعِ وَالشِّبَعِ وَالرَّيِّ بِطَبْعِهَا وَذَاتِهَا فَهُوَ كَافِرٌ بِالْإِجْمَاعِ ، أَوْ بِقُوَّةٍ خَلَقَهَا اللهُ فِيهَا فَفِي كُفْرِهِ قَوْلَانِ ، وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِكَافِرٍ بَلْ فَاسِقٌ مُبْتَدِعٌ وَمِثْلُ الْقَائِلِينَ بِذَلِكَ الْمُعْتَزِلَةُ الْقَا ئِلُونَ بِئَانِ الْعَبْدُ يَخْلُقُ افْعَالَ نَفْسِهِ الِاخْتِيَارِيَّةِ بِقُدْرَةٍ خَلَقَهَا اللهُ فِيهِ فَالْاَصَحُّ عَدَمُ كُفْرِهِمْ . وَمَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ الْمُؤَثِّرَ هُوَ اللهُ ، لَكِنْ جَعَلَ بَيْنَ الْأَسْبَابِ وَمُسَبِّبَاتِهَا تَلَازُمًا عَقْلِيًّا بِحَيْثُ لَا يَصِحُّ تَخَلُّفُهَا فَهُوَ جَاهِلٌ ، وَرُبَّمَا جَرَّهُ ذَلِكَ إلَى الْكُفْرِ ، فَئَانُهُ قَدْ يُنْكِرِمُعْجِزَاتِ الِانْبِيَاءِ لِكَوْنِهَاعِلَى خِلَافِ الْعَادَةِ . وَمَنْ اعْتَقَدَ أَنَّ الْمُؤَثِّرَ هُوَ اللهُ وَجَعَلَ بَيْنَ الْأَسْبَابِ وَالْمُسَبِّبَاتِ تَلَازُمًا عَادِيًّا بِحَيْثُ يَصِحُّ تَخَلُّفُهَا فَهُوَ الْمُؤْمِنُ النَّاجِي إنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَا .(حَاشِيَةُ الْبَيجُورِيِّ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيدِ : ص١٦٧)

Barang siapa yang meyakini bahwa sebab-sebab biasa seperti api, pisau, makan, dan minum dapat mempengaruhi akibat-akibatnya seperti membakar, memotong, kenyang, dan merasa puas karena sifat atau wujudnya sendiri, maka dia adalah kafir menurut kesepakatan. Atau dengan kekuatan yang Allah ciptakan di dalamnya, maka dalam kekafirannya terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih benar adalah bahwa dia tidak kafir, melainkan seorang fasiq (pelaku dosa besar) yang melakukan bid'ah. Seperti halnya pendapat orang-orang Mu'tazilah yang mengatakan bahwa seorang hamba menciptakan perbuatan-perbuatannya yang bersifat pilihan dengan kekuatan yang Allah ciptakan di dalam dirinya. Oleh karena itu, yang lebih benar adalah mereka tidak dianggap kafir. Barang siapa yang meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah, tetapi dia menjadikan antara sebab-sebab dan akibat-akibatnya sebuah keterkaitan yang logis, di mana tidak benar jika salah satunya tidak terjadi, maka dia adalah orang yang bodoh, dan mungkin hal itu akan membawanya kepada kekafiran, karena itu dia mungkin akan mengingkari mukjizat-mukjizat para nabi karena dianggap bertentangan dengan kebiasaan. Barang siapa yang meyakini bahwa yang mempengaruhi adalah Allah dan menjadikan antara sebab-sebab dan akibat-akibatnya hubungan yang biasa, di mana terjadinya perbedaan (atau ketidaksesuaian) masih memungkinkan, maka dia adalah seorang mukmin yang selamat, jika Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki.” (Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Jauhar al-Tauhid: 167)

وَإِنْ تَضَرَّرُوا بِكَثْرَةِ الْمَطَرِ ) بِتَثْلِيثِ الْكَافِ أَوْ دَامَ الْغَيْمُ عَلَيْهِمْ بِلَا مَطَرٍ وَانْقَطَعَتْ الشَّمْسُ عَنْهُمْ وَتَضَرَّرُوا بِهِ ( سَأَلُوْا اللهَ ) تَعَالَى نَدْبًا ( رَفَعَهُ فَيَقُولُوا ) مَا « قَالَهُ ﷺ لَمَّا شُكِيَ إلَيْهِ ذَلِكَ اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ » رَوَاهُ الشَّيْخَانِ ( وَلَا تُشَرَعُ لِهَذَا صَلَاةٌ ) لِعَدَمِ وُرُودِهَا لَهُ لَكِنْ تَقَدَّمَ فِي الْبَابِ السَّابِقِ أَنَّهَا تُسَنُّ لِنَحْوِ الزَّلْزَلَةِ فِي بَيْتِهِ مُنْفَرِدًا وَظَاهِرُ أَنَّ هَذَا نَحْوُهَا فَيُحْمَلُ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَا تُشْرَعُ الْهَيْئَةُ الْمَخْصُوصَةُ (اسنى المطلب شرح روض الطالب: ج ١، ص ٢٩٣)

"Dan jika mereka dirugikan karena banyaknya hujan dengan penggandaan huruf kaf, atau jika awan terus-menerus menutupi mereka tanpa hujan, dan matahari terhalang dari mereka, sehingga mereka dirugikan akibatnya. Mereka memohon kepada Allah dengan penuh penyesalan, lalu mereka mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah Saw Ketika hal itu disampaikan kepadanya, beliau berdoa: 'Ya Allah, janganlah engkau turunkan hujan di atas kami, tetapi di sekitar kami. Ya Allah, turunkan hujan di atas bukit-bukit, di atas tanah tinggi, di dasar lembah, dan di tempat tumbuhnya pohon-pohon. Hadis ini diriwayatkan oleh dua Imam (Bukhari dan Muslim). (Namun, tidak disyariatkan untuk melakukan shalat dalam keadaan ini). Karena tidak adanya perintah untuk hal itu, namun telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa shalat disunahkan untuk situasi seperti gempa bumi di rumahnya secara sendirian. Dan tampaknya ini adalah bentuk yang dimaksud, sehingga hal tersebut dipahami bahwa tidak disyariatkan bentuk khusus dari shalat tersebut." (Asna al-Mathalib Syarh Roudh al-Tholibin, 1: 293)


Penulis         : Winda Safitri, S.Kom

Perumus : Teguh Pradana, S.P

Mushohih : Gus Muhammad Agung Shobirin, M.Ag

 

Daftar Pustaka

al-Bajuri, Ibrahim bin Muhammad (W 1276 H), Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Jauhar al-Tauhid, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah Beirut, Lebanon : tanpa tahun

al-Ansari, Zakariya bin Muhammad bin Zakariya (W. 926 H), Asna al-Mathalib Syarh Roudh al-Tholib, sebanyak 4 jilid. Kairo: Dar al-Kitab al-Islami: tanpa tahun.

===============================================================

===============================================================


===============================================================


   

Posting Komentar untuk "HUKUM TRADISI MENANGKAL HUJAN"