Sumber Gambar: kompasiana.com
HUKUM UANG PENSIUNAN PNS YANG SUDAH MENINGGAL
Seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) meninggal dunia, dan istrinya mendapatkan hak pensiun janda selama ia belum menikah lagi. Pensiun tersebut adalah bentuk tunjangan dari almarhum suami yang diberikan kepada istrinya sebagai bentuk perlindungan finansial. Seiring berjalannya waktu, istri memutuskan untuk menikah lagi, namun karena khawatir hak pensiun tersebut akan dihentikan, jika menikah secara agama dan negara maka ia memilih untuk menikah tanpa mencatatkannya di Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut aturan, ketika seorang janda dari PNS menikah lagi, hak untuk menerima pensiun dari almarhum suami seharusnya dihentikan. Namun, dengan pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi, pembayaran pensiun tersebut bisa saja tetap berlanjut meskipun secara hukum hal ini melanggar aturan mengenai dana pensiun janda.
Apakah uang pensiunan termasuk tirkah?
TIDAK TERMASUK TIRKAH TETAPI TERMASUK HIBAH
Program Pensiun adalah penghasilan yang diterima oleh penerima pensiun setiap bulan sebagai jaminan hari tua dan penghargaan atas jasa-jasa Pegawai Negeri selama bertahun - tahun bekerja dalam dinas Pemerintah. Penyelenggaraan pembayaran pensiun dilakukan berdasarkan Undang - Undang Nomor 11 tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Jika PNS yang meninggal tidak memiliki istri atau suami, maka uang duka wafat akan diberikan kepada anaknya. Jika tidak memiliki istri, suami, atau anak, maka uang duka wafat akan diberikan kepada orang tuanya. PNS bujang yang meninggal tidak berhak mendapatkan gaji terusan dan pensiun. Gaji yang sudah dibayarkan wajib dikembalikan ke Kas Negara.
Menurut kitab Ta'rifat hal 60 dalam konteks uang pensiunan PNS, dana tersebut bukan termasuk tirkah karena uang pensiunan merupakan hak yang diberikan oleh negara kepada ahli waris sebagai bentuk santunan atau jaminan atas jasa pewaris selama bertugas. Uang pensiunan ini tidak berasal dari kepemilikan langsung pewaris, melainkan dari kebijakan atau aturan negara yang memberikan manfaat tersebut kepada ahli waris setelah pewaris meninggal. Dengan demikian, uang pensiunan PNS tidak dapat dikategorikan sebagai tirkah karena ia tidak termasuk dalam harta milik pribadi pewaris yang dapat diwariskan.
التِّرْكَةُ: فِي اللُّغَةِ مَا يَتْرُكُهُ الشَّخْصُ وَيَبْقِيهِ، وَفِي الِاصْطِلَاحِ: مَا تَرَكَ الإِنْسَانُ صَافِيًا خَالِيًا عَنْ حَقِّ الغَيْرِ. (التعريفات: ص٦٠)
“Secara bahasa, tirkah (harta yang bisa diwariskan) adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang dan tetap ada. Namun, secara istilah, warisan adalah harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah bersih dan tidak terikat dengan hak orang lain.” (al-Ta'rifat, :60)
Uang pensiunan tidak termasuk tirkah karena bukan harta yang dimiliki pewaris saat hidup. Sebaliknya, uang pensiunan lebih tepat dianggap sebagai hibah atau hadiah dari negara kepada ahli waris. Hal ini karena uang tersebut diberikan secara sukarela oleh negara setelah pewaris meninggal, tanpa tujuan penghormatan, pahala, atau kebutuhan tertentu, melainkan sebagai bentuk tunjangan untuk ahli waris.
وَهِيَ تُطْلَقُ عَلَى مَا يَعُمُّ الصَّدَقَةَ وَالْهَدِيَّةَ وَالْهِبَةَ ذَاتِ الْأَرْكَانِ، أَيْ عَلَى مَعْنًى عَامٍ يَشْمَلُ الثَّلَاثَةَ وَهُوَ تَمْلِيكُ تَطَوُّعٍ فِي حَيَاةٍ، وَعَلَى مَا يُقَابِلُ الصَّدَقَةَ وَالْهَدِيَّةَ، أَيْ عَلَى مَعْنًى خَاصٍ يُقَابِلُهُمَا وَهُوَ تَمْلِيكُ تَطَوُّعٍ فِي حَيَاةٍ لَا لِإِكْرَامٍ وَلَا لِأَجْلِ ثَوَابٍ أَوْ احْتِيَاجٍ بِإِيجَابٍ وَقَبُولٍ. (الباجور: ج ٢ ص ٨٧)
"Hibah digunakan untuk makna yang umum mencakup sedekah, hadiah, dan hibah dengan rukun tertentu, yaitu pemberian kepemilikan secara sukarela saat masih hidup. Hibah juga digunakan untuk makna yang khusus, yaitu berbeda dengan sedekah dan hadiah, sebagai pemberian kepemilikan secara sukarela saat masih hidup tanpa tujuan untuk penghormatan, pahala, atau karena kebutuhan, yang dilakukan dengan ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan)." (al-Bajuri, 2: 87)
Bagaimana hukum seorang istri yang telah menikah lagi mengambil dan menggunakan uang pensiunan mantan suaminya yang telah meninggal dunia?
TIDAK BOLEH
Menurut kitab Nihayah al-Muhtaj juz 6 hal 172 jika seseorang menerima pemberian (seperti hadiah, sedekah, hibah, atau wasiat) atas dasar anggapan bahwa ia memiliki sifat tertentu, seperti miskin, soleh, keturunan baik, atau berilmu, tetapi ternyata anggapan itu tidak benar, maka haram baginya menerima pemberian tersebut.
Pemberian ini dianggap tidak sah karena didasarkan pada informasi yang salah atau sifat tersembunyi yang seandainya diketahui oleh pemberi, mungkin akan membuatnya membatalkan pemberian tersebut. Ketentuan ini tidak hanya berlaku pada hadiah biasa tetapi juga pada semua bentuk pemberian sukarela lainnya, seperti wasiat, hibah, nadzar, dan wakaf. Jadi seorang istri tersebut tidak boleh memakai uang pensiunan mantan suaminya yang sudah meninggal karena seorang istri tersebut sudah tergolong orang yang mampu tercukupi.
وَمَنْ أُعْطِيَ لِوَصْفٍ يَظُنُّ بِهِ كَفَقْرٍ أَوْ صَلَاحٍ أَوْ نَسَبٍ أَوْ عَلِمَ وَهُوَ فِي الْبَاطِنِ بِخِلَافِهِ أَوْ كَانَ بِهِ وَصْفٌ بَاطِنًا بِحَيْثُ لَوْ عَلِمَ لَمْ يُعْطِهِ حُرِّمَ عَلَيْهِ الْأَخْذُ مُطْلَقًا ، وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي الْهَدِيَّةِ أَيْضًا فِيمَا يَظْهَرُ ، بَلْ الْأَوْجَهُ إلْحَاقُ سَائِرِ عُقُودِ التَّبَرُّعِ بِهَا كَوَصِيَّةٍ وَهِبَةٍ وَنَذْرٍ وَوَقْفٍ (نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج: ج ٦، ۷۲ ١)
“Barangsiapa diberi sesuatu karena dianggap memiliki sifat tertentu, seperti kemiskinan, kesalehan, keturunan baik, atau ilmu, namun pada kenyataannya ia tidak memiliki sifat tersebut, atau terdapat sifat tersembunyi yang seandainya diketahui oleh pemberi, maka pemberian itu tidak akan diberikan, maka haram baginya untuk menerima pemberian tersebut secara mutlak.
Ketentuan ini juga berlaku dalam pemberian hadiah yang tampak. Bahkan, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa seluruh akad pemberian sukarela lainnya, seperti wasiat, hibah, nadzar, dan wakaf, juga termasuk dalam aturan ini.” (Nihayah al-Muhtaj, 6:172)
Penulis : Nur Azizah., S.AB
Perumus : Ust. Teguh Pradana., S.P
Mushohih : Ust. Syafi’udin Fauzi., M.Pd
Daftar Pustaka
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali Az-Zain Asy-Syarif (W. 816 H), at-Ta’rifat, Dar Al-Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, Cet. kedua, 2002 M.
Al-Bajuri, Syekh Ibrahim, (W. 1276), Hasyiyah Al-Bajuri 'Ala Ibni Qosim, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Cet. kedua, 1999 M, Sebanyak 2 jilid
Ar-Ramli, Syamsuddin Muhammad bin Abi Al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin, (W. 1004 H) Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, Cet. ketiga, (2003 M), Sebanyak 6 Jilid.
Posting Komentar untuk " Hukum Uang Pensiunan PNS yang Sudah Meninggal"