Pandangan Fiqh terhadap Warga Muslim yang Disewa Sebagai Peserta Pawai Ogoh-Ogoh Desa Tetangga yang Beragam Hindu


 

Sumber Gambar: Bola.com

PANDANGAN FIQH TERHADAP WARGA YANG BERAGAMA ISLAM YANG DISEWA SEBAGAI PESERTA PAWAI OGOH-OGOH DESA TETANGGA YANG BERAGAMA HINDU

Ogoh-ogoh adalah patung raksasa yang biasanya terbuat dari bahan ringan seperti bambu dan kertas, yang dihias dengan warna-warna cerah. Patung ini dibuat dalam rangka perayaan Hari Raya Nyepi di Bali, yang merupakan bagian dari Tahun Baru Saka dalam tradisi Hindu Bali. Ogoh-ogoh biasanya menggambarkan makhluk halus, roh jahat, atau karakter yang memiliki bentuk menyeramkan, seperti raksasa atau monster.

Pada malam Melasti, yaitu satu hari sebelum Nyepi, ogoh-ogoh diarak di jalan-jalan sebagai bagian dari upacara untuk mengusir roh-roh jahat. Setelah itu, pada malam Nyepi, ogoh-ogoh dibakar sebagai simbol pembersihan dan penyucian diri serta lingkungan dari segala hal yang buruk.

Ogoh-ogoh dapat dikatakan sebagai tradisi yang memiliki unsur ritual. Keduanya saling berkaitan karena tradisi pembuatan dan pengarakan ogoh-ogoh tidak hanya sebatas kegiatan seni atau warisan budaya, tetapi juga memiliki tujuan spiritual dan religius yaitu mengusir energi negatif Bhuta Kala sebelum Hari Raya Nyepi dan ritual tersebut dinamakan ritual Pengerupukan, yaitu ritual mengusir energi negatif menjelang Nyepi. Ini melambangkan pembersihan lingkungan dan jiwa manusia dari sifat-sifat buruk seperti amarah, keserakahan, dan kebencian.

Namun, fenomena yang terjadi disuatu daerah, peserta yang mengikuti pawai tersebut itu meminta bantuan terhadap orang yang beragama islam dikarenakan jumlah orang untuk mengangkat patung  tersebut kekurangan. Akhirnya para warga yang beragama hindu menyewa sebagian warga yang beragama Islam untuk ikut serta dalam arak-arakan ogoh-ogoh tersebut 

Bagaimana pandangan fiqh terhadap para warga yang beragama Islam yang disewa sebagai peserta pawai ogoh-ogoh desa tetangga (Hindu) tersebut?

  1.  Haram dan Kufur (Keluar dari Islam)

Disebutkan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro jika seorang Muslim menjadi peserta pawai ogoh-ogoh dengan niat mendukung atau mengakui keyakinan agama Hindu yang melatarbelakangi pawai tersebut, maka perbuatannya dapat dikategorikan sebagai kufur akbar yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Pawai ogoh-ogoh adalah bagian dari rangkaian ritual keagamaan dalam Hari Raya Nyepi yang bertujuan untuk mengusir roh jahat menurut keyakinan Hindu. Jika seorang muslim sengaja berpartisipasi dengan niat menerima atau membenarkan keyakinan tersebut, maka ia telah melakukan perbuatan yang membatalkan keimanan.

  1. Haram Tetapi Tidak Kufur

Jika seorang Muslim menjadi peserta pawai ogoh-ogoh tanpa niat mendukung atau mengakui keyakinan agama Hindu, tetapi tetap sadar bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari ritual keagamaan Non-Muslim, maka perbuatannya haram tetapi tidak menyebabkan kekufuran. Dalam hal ini, keterlibatan tersebut dianggap menyerupai kaum Non-Muslim dalam perkara keagamaan yang menjadi ciri khas mereka, meskipun tanpa keyakinan. Islam melarang tasyabbuh (penyerupaan) dalam hal yang menjadi identitas khas kaum Non-Muslim, termasuk ritual keagamaan mereka.

  1. Boleh (dengan Catatan)

Jika seorang Muslim terlibat dalam pawai ogoh-ogoh tanpa mengetahui bahwa pawai tersebut adalah bagian dari ritual keagamaan, dan ia melakukannya hanya karena alasan pekerjaan atau keterpaksaan, maka perbuatannya tidak sampai pada tingkatan haram. Dalam kondisi ini, niat untuk meniru atau mendukung keyakinan Non-Muslim tidak ada sama sekali.

فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعًا، أَوْ فِي شِعَارِ الْعَبْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنْ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ التَّشَبُّهِ بِهِمْ أَصْلًا وَرَأْسًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ ثُمَّ رَأَيْتُ بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ ذَكَرَ مَا يُوَافِقُ مَا ذَكَرْتُهُ (الفتاوى الفقهية الكبرى: ج ٤، ص ‏٢٣٩) 

“Jika seseorang melakukan hal tersebut dengan niat untuk meniru mereka dalam mensyi’arkan kekufuran, maka dia pasti kafir. atau dia meniru mereka dalam hal mensyi’arkan perbudakan atau tanda yang berkaitan dengan kekufuran, maka meskipun tidak ada kaitan dengan kekufuran, dia tidak kafir, tetapi tetap berdosa. Jika tidak ada niat sama sekali untuk meniru mereka dalam bentuk apapun, maka tidak ada dosa atasnya. Kemudian, saya melihat sebagian ulama kami yang belakangan menyebutkan sesuatu yang sesuai dengan apa yang saya sebutkan.” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubro: juz 4, halaman 239)

Dengan demikian, penilaian terhadap perbuatan ini sangat bergantung pada niat pelaku dan sifat dari perbuatan tersebut. Perbuatan yang dilakukan dengan niat meniru kekufuran adalah kekufuran, perbuatan yang meniru kebiasaan atau budaya khas Non-Muslim adalah haram, sementara perbuatan yang dilakukan tanpa niat meniru dan tidak berkaitan dengan identitas mereka adalah diperbolehkan, meskipun tetap dianjurkan untuk menjaga kehati-hatian agar tidak membuka pintu bagi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip Islam.

  1. Boleh (secara mutlak)

Disebutkan dalam kitab Hasyiah Ibnu Abidin Radd al-Mukhtar, juz 6, halaman 562. Boleh, dalam hal ini orang islam yang disewa dan dibayar untuk mengikuti pawai ogoh-ogoh sama hal nya dengan orang yang dibayar untuk membangun gereja. Syekh Ibnu ‘Abidin juga banyak ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad kontrak untuk bekerja dan membangun gereja bukanlah bentuk maksiat secara substansial sehingga termasuk akad pekerjaan yang diperbolehkan.

قَالَ فِي الْخَانِيَّةِ: وَلَوْ آجَرَ نَفْسَهُ لِيَعْمَلَ فِي الْكَنِيسَةِ وَيُعَمِّرَهَا لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّهُ لَا مَعْصِيَةَ فِي عَيْنِ الْعَمَلِ  (حاشية ابن عابدين، رد المحتار: ج ٦، ص ‏٥٦٢) 

“Disebutkan dalam kitab al-Khaniyah bahwa seandainya ia disewa untuk bekerja di gereja dan membangun gereja maka tidak masalah karena hal tersebut secara hakikat bukan termasuk maksiat” (Hasyiah Ibnu Abidin Radd al-Mukhtar: juz 6, halaman 562).

Penulis : Salman Alfarizy, S.Kom

Perumus : Ust. Teguh Pradana S. P

Mushohih : Ust. Syafiudin Fauzi M.Pd


Daftar Pustaka

al-Ansari, Shihab al-Din Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Ali ibn Hajar al-Haytami al-Makki (W. 974 H), al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, Daar al-Nawadir: Tanpa Tahun. sebanyak 4 jilid

al-Shami, Abd al-Rahim ibn Najmuddin ibn Muhammad Salahuddin (W. 1252 H), Hasyiah Ibnu Abidin Radd al-Muhtar, Daar al-Fikr, Beirut, Lebanon: 1992 M sebanyak 12 jilid

================================================================


================================================================



Posting Komentar untuk "Pandangan Fiqh terhadap Warga Muslim yang Disewa Sebagai Peserta Pawai Ogoh-Ogoh Desa Tetangga yang Beragam Hindu"