![]() |
Sumber Poe.com |
قاعدة (٢٧)
الْاِخْتِلَافُ فِي الْحُكْمِ الوَاحِدِ نَفْيًا وَإِثْبَاتًا
Perbedaan dalam satu hukum, baik dalam penolakan maupun penetapan
الْاِخْتِلَافُ فِي الحُكْمِ الوَاحِدِ نَفْيًا وَإِثْبَاتًا، إِنْ ظَهَرَ ابْتِنَاءُ أَحَدِهِمَا عَلَى أَصْلٍ لَا يَتِمُّ الِْاحْتِجَاجُ بِهِ فَهُوَ فَاسِدٌ، وَإِنْ أَدَّى إِلَى مُحَالٍ فَهُوَ بَاطِلٌ، بِخِلَافِ مَا ظَهَرَ ابْتِنَاؤُهُ عَلَى أَصْلٍ يَتِمُّ الِْاحْتِجَاجُ بِهِ، وَلَا يُنْزَعُ الْحُجَّةُ مِنْ يَدِ مُخَالِفِهِ لِأَنَّ الكُلَّ صَحِيحٌ، وَمِنْ ثَمَّ نُفَرِّقُ بَيْنَ خِلَافٍ وَاخْتِلَافٍ فَنُكَفِّرُ مَنْ آلَ قَوْلُهُ لِمُحَالٍ فِي مَعْقُولِ الْعَقَائِدِ، وَنُبَدِّعُ مَنْ آلَ بِهِ ذَلِكَ فِي مَنْقُولِهَا إِنِ الْتَزَمَ الْقَوْلَ بِاللَّازِمِ. وَإِلَّا نُظِرَ فِي شُبْهَتِهِ فَيُجْرَىٰ لَهُ حُكْمُهَا عَلَى خِلَافٍ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي لَازِمِ الْقَوْلِ، وَلَا نُكَفِّرُ وَلَا نُبَدِّعُ مَنْ خَرَجَ لَازِمُ(1) قَوْلِهِ عَنْ مُحَالٍ، إِذْ لَا يُجْزَمُ(2) بِفَسَادِ أَصْلِهِ مَعَ احْتِمَالِهِ. وَبِهَذَا(3) الْوَجْهِ يَظْهَرُ(4) قَبُولُ خِلَافِ أَهْلِ السُّنَّةِ بَيْنَهُمْ مَعَ رَدِّهِمْ لِلْغَيْرِ عُمُومًا، وَهُوَ جَارٍ فِي بَابِ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ بِاعْتِبَارِ الرَّدِّ وَالْقَبُولِ [فَتَأَمَّلْ ذَلِكَ تَجِدْهُ؛ وَبِاللّهِ التَّوْفِيقُ].
(1) ساقط من : ب.
(2) في نسخ الشيخ محمد إدريس طيب [[نجزم]]
(3) في نسخ الشيخ محمد إدريس طيب [[ولهذا]]
(4) في نسخ الشيخ محمد إدريس طيب [[يتم]]
Perbedaan dalam satu hukum, baik berupa penolakan (nafi) atau penetapan (itsbat), Jika ternyata salah satu dari keduanya (pendapat tersebut) didasarkan pada prinsip (asal) yang tidak dapat dijadikan dalil (hujjah), maka pendapat itu adalah pendapat yang rusak. Jika pendapat tersebut mengarah kepada hal yang mustahil (muhal), maka itu adalah pendapat yang batil. Berbeda dengan sesuatu yang tampak dibangun atas prinsip untuk dijadikan hujjah, dan hujjah tidak dicabut dari pihak berbeda pendapat dengannya, karena semuanya benar. Dari sini, kami membedakan antara "khilaf" (perbedaan yang dapat diterima) dan "ikhtilaf" (pertentangan yang tidak sah). Maka kami mengkafirkan seseorang yang pendapatnya berujung pada sesuatu yang mustahil secara akal dalam persoalan akidah. Kami menganggapnya sebagai pelaku bid‘ah apabila pendapat tersebut berujung pada sesuatu yang tidak benar secara naql (dalil syar‘i) jika ia berkomitmen dengan konsekuensi pendapat tersebut. Jika tidak demikian, maka syubhat (keraguan atau alasan) yang dimilikinya diteliti, lalu diterapkan hukum yang sesuai dengan syubhat tersebut, berdasarkan perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai konsekuensi dari suatu pendapat. Namun, kami tidak mengkafirkan dan tidak pula membid‘ahkan seseorang yang konsekuensi dari pendapatnya tidak berujung pada sesuatu yang mustahil, karena asal pendapatnya tidak dapat dipastikan rusak selama masih ada kemungkinan (untuk dipahami dengan benar). Dengan cara ini tampak jelas penerimaan perbedaan pendapat di kalangan Ahlussunnah di antara mereka, meskipun mereka secara umum menolak pendapat dari pihak lain(di luar ahlussunnah). Hal ini juga berlaku dalam bab hukum-hukum syariat, baik dalam hal penolakan maupun penerimaan (dalil atau pendapat). [Renungkan hal ini dengan baik, maka kamu akan memahaminya. hanya kepada Allah tempat meminta taufik].
- Kaidah 35: Menilai Cabang Berdasarkan Asal dan Kaidahnya
- Kaidah 34: Orang yang Berbicara tentang suatu Cabang Ilmu Harus Menghubungkan Cabang-cabangnya dengan Pokok-pokoknya, dan Menyambungkan Pemahaman dengan Sumber-sumbernya
- Kaidah 6: Istilah itu untuk Sesuatu dengan Apa yang Menunjukkan Maknanya dan Menyampaikan Hakikatnya
شرح عند الأستاذ الشيخ محمد إدريس طيب:
Penjelasan menurut Guru Syekh Muhammad Idris thayyib :
إذا تم الاختلاف في الحكم على أمر ما؛ فكل حكم لا يعتمد على أصل من دليل شرعي أو عقلي؛ فهو فاسد. أما إذا كان الحكم محالا فهو باطل؛ فإن كان الحكم مستندا على دليل؛ فهو حجة؛ وإن نازعه حكم آخر قائم على دليل أقل منه حجية، أخذ بالحكم الأقوى حجية؛ والتفرقة في الأحكام العقلية تؤول إلى نتائجها؛ فما يؤول إلى محال في العقائد؛ فهو حتما باطل؛ ويكفر صاحبه؛ لأن الدليل العقلي يفيد اليقين. أما إذا كان الاختلاف راجع إلى ما اعتمد عليه من دليل نقلي؛ فيبدع صاحبه؛ لأن الدليل النقلي قد يكون قابلا للتأويل؛ إذ لا يكفر ولا يبدع من خرج لازم قوله عن محال؛ وينظر فيما عدا ذلك إلى الشبهة؛ فيعطى له حكمها له أو عليه، وعلى هذا حمل خلاف أهل السنة فيما بينهم. حيث يرد القول أو يعمل به حسب حجيته ودليله.
Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap suatu perkara, maka setiap hukum yang tidak bersandar pada prinsip dari dalil syar‘i atau aqli adalah hukum yang rusak. Adapun jika hukum tersebut (mengarah kepada sesuatu yang) mustahil (secara akal), maka itu adalah hukum yang batil. Jika hukum tersebut didasarkan pada dalil, maka itu menjadi hujjah. Namun jika hukum tersebut ditentang oleh hukum lain yang juga didasarkan pada dalil tetapi memiliki hujjah yang lebih lemah, maka hukum yang lebih kuat hujjahnya diambil. Perbedaan dalam hukum-hukum aqli berujung pada hasilnya, sehingga apa yang berujung pada sesuatu yang mustahil dalam aqidah maka hukum tersebut pasti batil, dan pelakunya menjadi kafir, karena dalil aqli menghasilkan keyakinan yang pasti. apabila perbedaan itu merujuk kepada dalil naqli, maka pelakunya dihukumi sebagai pelaku bid‘ah, sebab dalil naqli terkadang bisa menerima takwil. Oleh sebab itu seseorang tidak dianggap kafir atau ahli bid'ah jika konsekuensi dari pendapatnya tidak mengarah kepada sesuatu yang mustahil Selain itu, dilihat pula syubhatnya, lalu diberlakukan hukum yang sesuai, baik untuknya maupun atasnya. Atas dasar ini dipahami perbedaan di kalangan Ahlussunnah di antara mereka, di mana suatu pendapat dapat diterima atau ditolak berdasarkan tingkat kekuatan hujjah dan dalilnya.
وعليه "إذا تعارضت الظواهر النقلية مع الأدلة العقلية؛ فإن صدقناهم لزم الجمع بين النقيضين، وإن كذبناهم لزم رفعهما، وإن صدقنا الظواهر النقلية، وكذبنا الأدلة العقلية لزم الطعن في الظواهر النقلية؛ لأن الأدلة العقلية أصول الظواهر النقلية؛ وتصديق الفرع مع تكذيب أصله يفضي إلى تكذيبهما معا؛ فلم يبق إلا أن نقول بالأدلة العقلية، وتأويل الظواهر النقلية، أو تفويض أمرهما إلى الله تعالى؛ ولأهل السنة قولان؛ فعلى العمل بالتأويل إن وجدنا محلا يسوغه العقل حملناها عليه، وإلا بردنا أمرها إلى الله ".
Oleh karena itu, apabila terjadi pertentangan antara teks-teks naqli (dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah) dan dalil-dalil aqli, maka :
Jika kita membenarkan keduanya (teks naqli dan aqli), maka hal itu mengharuskan penggabungan antara dua hal yang bertentangan.
Jika kita mendustakan keduanya, maka hal itu mengharuskan meniadakan keduanya.
Jika kita membenarkan teks-teks naqli (dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah) dan mendustakan dalil-dalil aqli, maka hal itu mengharuskan mencela teks-teks naqli (dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah). Karena dalil-dalil aqli adalah dasar bagi (pemahaman) teks-teks naqli. Membenarkan cabang (dalil naqli) dengan mendustakan asalnya (dalil akal) akan berujung pada pendustaan terhadap keduanya.
Oleh karena itu, tidak tersisa kecuali kita harus berpegang pada dalil aqli, disertai takwil terhadap teks-teks naqli (dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah), atau menyerahkan urusan keduanya kepada Allah SWT (tafwidh). Menurut Ahlussunnah, terdapat dua pendapat: berdasarkan penerapan takwil, jika kami menemukan tempat (konteks) yang dapat dibenarkan oleh akal, maka kami mentakwilnya sesuai dengan itu. Jika tidak, maka kami menyerahkan urusannya kepada Allah.
ويستفاد من قوله: "ولا نكفر ولا نبدع... إلخ" قبول الشيخ أحمد زروق للخلاف والرأي الآخر المحتمل للصدق - ما لم يتعارض مع أصل من أصول الشريعة -؛ وعلى هذا يحمل خلاف أئمة المذاهب من أهل السنة في بعض الأحكام الجزئية.
Dapat dipahami dari perkataannya: 'Kami tidak mengkafirkan dan tidak membid‘ahkan... dan seterusnya' bahwa Syekh Ahmad Zarruq menerima adanya perbedaan pendapat dan pandangan lain yang masih mungkin dianggap benar—selama tidak bertentangan dengan salah satu prinsip dasar syari’at. Berdasarkan hal ini dapat dijelaskan adanya perbedaan pendapat para imam mazhab Ahlussunnah dalam beberapa hukum yang bersifat parsial.
Mutarjim : Muhammad Ali Akbar
Contact Person : 0895366147677
Email : aali3813416@gmail.com
Posting Komentar untuk "QOIDAH 27: PERBEDAAN DALAM SATU HUKUM, BAIK DALAM PENOLAKAN MAUPUN PENETAPAN"