QOIDAH 4 : KEJUJURAN DALAM MENGHADAPKAN DIRI (KEPADA ALLAH) DISYARATKAN PADA KERIDHAAN ALLAH

Sumber ChatGPT


 قاعدة: ٤

 صِدْقُ التَّوَجُّهِ مَشْرُوطٌ بِرِضَا الْحَقَّ 

Kejujuran dalam menghadapkan diri (kepada Allah) disyaratkan pada keridhaan Allah

صِدْقُ التَّوَجُّهِ مَشْرُوطٌ بِكَوْنِهِ مِنْ حَيْثُ يَرْضَاهُ الْحَقُّ تَعَالَى وَبِمَا يَرْضَاهُ؛ وَلَا يَصِحُّ مَشْرُوطٌ بِدُونِ شَرْطِهِ ﴿وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ﴾، فَلَزِمَ تَحْقِيقُ الْإِيمَانِ، ﴿وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْ(1) فَلَزِمَ الْعَمَلُ بِالْإِسْلَامِ.


 (1)﴿اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَۚ وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْۗ ﴾ [الزمر: ٧].


"Kejujuran dalam menghadapkan diri (kepada Allah) disyaratkan harus berasal dari sisi yang diridhai oleh Allah SWT dan dengan cara yang diridhai-Nya. Tidaklah sah sesuatu yang disyaratkan tanpa memenuhi syaratnya. (Sebagaimana firman-Nya:) “Dia pun tidak meridai kekufuran hamba-hamba-Nya.” (QS. Az-Zumar: 7), sehingga keimanan harus diwujudkan. (Dan firman-Nya:) “Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 7),. Amal wajib dalam islam.

فَلَا تَصَوُّفَ إِلَّا بِفِقْهٍ، إِذْ لَا تُعْرَفُ أَحْكَامُ اللّهِ الظَّاهِرَةُ إِلَّا مِنْهُ، وَلَا فِقْهَ إِلَّا بِتَصَوُّفٍ، إِذْ لَا عَمَلَ إِلَّا بِصِدْقٍ وَتَوَجُّهٍ، وَلَا هُمَا إِلَّا بِإِيمَانٍ، إِذْ لَا يَصِحُّ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِدُونِهِ، فَلَزِمَ الْجَمِيعَ لِتَلَازُمِهَا فِي الْحُكْمِ، كَتَلَازُمِ الْأَرْوَاحِ لِلْأَجْسَادِ، إِذْ لَا وُجُودَ لَهَا إِلَّا فِيهَا، كَمَا لَا كَمَالَ لَهُ إِلَّا بِهَا، فَافْهَمْ.

"Maka tidak ada tasawuf tanpa fikih, karena hukum-hukum Allah yang zhohir hanya dapat diketahui melalui fikih. Dan tidak ada fikih tanpa tasawuf, karena amal perbuatan tidak akan sah tanpa kejujuran dan tawajjuh. Keduanya pun tidak akan terwujud tanpa iman, karena salah satu dari keduanya tidak akan sah tanpa iman. Maka ketiganya wajib ada karena saling melengkapi dalam hukum, seperti ruh saling terkait dengan jasad; yang mana ruh tidak akan ada tanpa jasad, sebagaimana jasad tidak akan sempurna tanpa ruh. Maka pahamilah hal ini."

وَمِنْهُ قَوْلُ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللَّهُ: مَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَمَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ.

"Dan di antaranya adalah perkataan Imam Malik rahimahullah: Barang siapa yang bertasawuf tanpa memahami fikih, maka ia telah zindiq. Barang siapa yang memahami fikih tanpa bertasawuf, maka ia telah fasik . Dan barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai hakikat (kebenaran)."

قُلْتُ: تَزَنْدَقَ الْأَوَّلُ: لِأَنَّهُ قَالَ بِالْجَبْرِ الْمُوجِبِ لِنَفْيِ الْحِكْمَةِ وَالْأَحْكَامِ، وَتَفَسَّقَ الثَّانِي: لِخُلُوِّ عَمَلِهِ عَنْ صِدْقِ التَّوَجُّهِ الْحَاجِزِ عَنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَعَنْ الْإِخْلَاصِ الْمُشْتَرَطِ فِي الْعَمَلِ لِلَّهِ، وَتَحَقَّقَ   الثَّالِثُ لِقِيَامِهِ بِالْحَقِيقَةِ فِي عَيْنِ التَّمَسُّكِ بِالْحَقِّ فَاعْرِفْ ذَلِكَ؛ إِذْ لَا عَمَلَ إِلَّا بِصِدْقِ تَوَجُّهٍ، وَلَا هُمَّا إِلَّا بِإِيمَانٍ؛ إِذْ لَا يَصِحُّ وَاحِدٌ مِنْهُمَا بِدُونِهِ فَلَزِمَ الْجَمِيعُ لِتَلَازُمِهِمَا فِي الْحَقِّ كَتَلَازُمِ الْأَرْوَاحِ لِلْأَجْسَادِ؛ إِذْ لَا وُجُودَ لَهَا إِلَّا فِيهَا، كَمَا لَا كَمَالَ لَهُ إِلَّا بِهَا، فَافْهَمْ.

Saya katakan bahwa yang pertama disebut zindiq karena ia berpegang pada konsep jabariyah yang menafikan hikmah dan hukum-hukum (syariat). Sedangkan yang kedua disebut 'fasik ' karena amalnya kosong dari kejujuran dalam tawajjuh (kesungguhan hati dalam menghadap Allah), yang menjadi penghalang dari maksiat kepada Allah SWT dan kosong dari keikhlasan yang disyaratkan dalam beramal kepada Allah. Sedangkan yang ketiga disebut telah mencapai kebenaran karena ia menjalankan hakikat . dengan berpegang teguh pada kebenaran. Ketahuilah hal ini: bahwa tidak ada amal kecuali dengan kejujuran dalam tawajjuh, dan tidak ada keduanya tanpa iman, karena salah satu dari keduanya tidak sah tanpa iman. Maka, semuanya harus terpenuhi karena saling melengkapi dalam kebenaran, sebagaimana ruh melengkapi jasad; ruh tidak akan ada kecuali dalam jasad, dan jasad tidak akan sempurna kecuali dengan ruh. Pahamilah ini."

شرح عند الأستاذ الشيخ محمد إدريس طيب :

Syarah menurut guru syekh muhammad idris thoyyib

بعد الكلام في القاعدة السابقة عن الاختلاف في تعريف التصوف، وأن تصوف كل واحد صدق توجهه انتقل في هذه القاعدة ليفصل الكلام عن أول أصل أو ركيزة يعتمد وينبني عليها التصوف؛ وهي:"صدق التوجه إلى الله"؛ سواء في الأقوال بتجنبه الكذب والرياء، أو الأعمال؛ فلا يلحظ فيها غير ربه، أو الأحوال؛ بأن لا يلتفت لغير مولاه، ظاهرا وباطنا؛ حيث ينبغي أن يكون: "مشروطا بكونه من حيث يرضاه الحق تعالى، وبما يرضاه؛ حيث لا يصح مشروط بدون شرطه؛ "لأن الأعمال بالنيات". 

 Setelah pembahasan pada kaidah sebelumnya tentang perbedaan dalam mendefinisikan tasawuf, dan bahwa tasawuf seseorang bergantung pada kejujuran dalam tawajjuh (kesungguhan hati dalam menghadap Allah), pada kaidah ini pembahasan beralih untuk menguraikan pondasi pertama atau pilar utama yang menjadi pondasi tasawuf, yaitu: “Kejujuran dalam menghadap kepada Allah”. Kejujuran ini berlaku baik dalam ucapan—dengan menjauhi kebohongan dan riya—maupun dalam perbuatan, di mana seseorang tidak memandang selain Tuhannya, juga dalam ahwal, yakni dengan tidak memperhatikan selain Allah, baik secara lahir maupun batin. Kejujuran ini harus terpenuhi: "dengan syarat bahwa ia dilakukan sesuai dengan apa yang diridhai Allah dan dengan cara yang diridhoi olehNya"; karena tidak sah sesuatu yang disyaratkan tanpa memenuhi syaratnya, (sebagaimana ditegaskan dalam hadits) " Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya".

فصدق التوجه والإنابة إلى الله تعالى هو جوهر التصوف؛ وصدق التوجه مشروط بكونه من حيث يرضاه تعالى وبما يرضاه؛ أي: أن تسلك المسلك، وتقتفي الطريق التي أرشدنا إليه تعالى في كتابه، وبينها النبي صلى الله عليه وسلم في سنته القولية،والفعلية، والتقريرية؛مع التقيد بمقاصدها الشرعية دون ا التفاف أو روغان،ودون إفراط ولا تفريط.

Maka, kejujuran dalam tawajjuh dan kembali kepada Allah SWT adalah inti dari tasawuf. Kejujuran dalam tawajjuh tersebut disyaratkan agar dilakukan sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah SWT dan dengan cara yang diridhai-Nya.; yaitu engkau harus menempuh jalan dan mengikuti petunjuk yang telah Allah sampaikan dalam Kitab-Nya, dan yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya—baik dalam ucapan, perbuatan, maupun ketetapannya. Semua itu harus dilakukan dengan tetap berpegang pada tujuan-tujuan syariatnya, tanpa menyimpang, tanpa tipu daya, dan tanpa berlebihan (ifrath) menyalah gunakan (tafrith).

وإذا كان الإسلام والإيمان والإحسان قد ارتبطوا في الحديث النبوي الشريف(2) ؛ لذا فإنه لا تصوف إلا بفقه؛ لأنه لا تعرف أحكامه الظاهرة إلا منه؛ كما أنه لا فقه إلا بتصوف؛ حيث لا عمل إلا بصدق نية، وإخلاص في التوجه والقصد؛كما لا يصح أحد منهما إلا بإيمان؛ فلزم الجمع لتلازمهما في الحكم، كتلازم الأرواح للأجساد، وعلى هذا يحمل قول الإمام مالك؛ فـ " من اكتفى بالتعبد دون الفقه خرج وابتدع، ومن اكتفى بالكلام دون الاتصاف بحقيقته تزندق وانقطع، ومن اكتفى بالفقه دون العمل به اغتر وانخدع، ومن عمل بما علم تخلص وارتفع".


(2) حديث الإسلام، والإيمان، والإحسان المشهور المروي عن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه (انظر صحيح البخاري ومسلم).


Apabila Islam, iman, dan ihsan saling berkaitan dalam hadits Nabi yang mulia, maka tidak ada tasawuf tanpa fikih; sebab hukum-hukum yang zhohir hanya dapat diketahui melalui fikih. Begitu pula, tidak ada fikih tanpa tasawuf; karena amal tidak ada kecuali dengan kejujuran niat dan keikhlasan dalam tawajjuh (menghadap)dan tujuan. Tidak sah salah satu dari keduanya kecuali dengan iman. Oleh karena itu, maka harus menghimpun (ketiganya) karena saling berkaitan dalam hukum, seperti keterkaitan ruh dengan jasad. Atas dasar ini dipahami perkataan Imam Malik: “Barang siapa mencukupkan diri dengan ibadah tanpa fikih, maka ia akan keluar dari jalan yang benar dan berbuat bid'ah; Barang siapa mencukupkan diri dengan ucapan (ilmu) tanpa berpegang pada hakikatnya maka ia akan menjadi zindiq dan terputus.; Barang siapa mencukupkan diri dengan fikih tanpa mengamalkannya, maka ia akan tertipu dan terpedaya; Dan barang siapa mengamalkan apa yang ia ketahui, maka ia akan menjadi bersih dan mencapai derajat yang tinggi.

وإذا كان البعض قد ذهب للقول بالفصل بين الفقه / الشريعة، والتصوف / الحقيقة، وبين الظاهر والباطن؛ وهو قول ينبئ عن قصور في التفكير؛ خصوصا لمن يدعون التصوف، ويقدمون الكشف في تبرير سلوكاتهم ومعاملاتهم على النص الشرعي من الكتاب والسنة؛ وهو ما يؤدي إلى التحلل من جزء من الأحكام الشرعية التي تدخل تحت دائرة التكليف، ويميلون إلى الأخذ بالرخص في غير محلها؛ وبذلك يتحللون مما التزموا به قبل الانخراط في الطريق، وهو إعلان التوبة، والالتزام بأحكام الشريعة، والتمسك بالورع والتقوى؛ فالتصوف جزء من الدين وليس أمرا خارجا عنه، أو مخالفا له؛ فهو مبني على الكتاب والسنة؛ لذا وجب أن تكون حركات وتصرفات الصوفي مقيدة بضوابط وقواعد الشريعة من جهة، ومن جهة أخرى بالقلب حتى لا تصدر - الحركات والتصرفات - عن صاحبها خالية من ثمراتها؛ فلا تحقق نتائجها؛ وهي التوجه إلى الله بصدق وإخلاص نية؛ لبلوغ درجات كمالات الإحسان.

Dan jika ada sebagian orang yang berpendapat tentang adanya pemisahan antara fikih/syariat dan tasawuf/hakikat, serta antara yang lahiriah dan batiniah, maka pendapat ini menunjukkan keterbatasan dalam berpikir, terutama bagi mereka yang mengaku sebagai ahli tasawuf dan lebih mengutamakan kasyf dalam membenarkan perilaku dan muamalah mereka di atas otoritas teks syar'i dari Al-Qur'an dan sunnah. Sikap ini dapat menyebabkan mereka mengabaikan sebagian hukum syariat yang berada dalam ruang lingkup kewajiban taklif, serta kecenderungan mengambil rukhsah (keringanan hukum) di tempat yang tidak semestinya. Dengan demikian, mereka melonggarkan diri dari komitmen yang sebelumnya mereka ikrarkan sebelum memasuki jalan tasawuf, yaitu: mengumumkan tobat, berkomitmen pada hukum-hukum syariat, dan berpegang teguh pada sikap wara' (kehati-hatian) dan takwa.

Tasawuf adalah bagian dari agama, bukan sesuatu yang terpisah atau bertentangan dengannya, Ia dibangun berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah. Oleh karena itu, setiap gerakan dan tindakan seorang sufi harus terikat oleh aturan dan kaidah syariah di satu sisi, dan di sisi lain oleh hati, agar tindakan-tindakan tersebut tidak keluar dari pelakunya tanpa hasil yang diharapkan. Dengan demikian, tindakan-tindakan itu tidak mencapai tujuannya, yaitu menghadap kepada Allah dengan kejujuran dan keikhlasan niat, untuk mencapai derajat kesempurnaan ihsan.


قال الشيخ أحمد زروق: "اعلم أن الفقه والتصوف أخوان في الدلالة على أحكام الله سبحانه؛ إذ حقيقة التصوف ترجع لصدق التوجه إلى الله تعالى من حيث يرضى بما يرضى، وذلك متعدد؛ فلذلك ادعاه كل أحد بما هو فيه، وعبر عنه كل أحد بما انتهى إليه على قدر القصد والفيض والهمة، واعتبر ذلك أئمته؛ حتى أن أبا نعيم في حليته غالبا لا يترجم لرجل إلا أتبع ذلك بقول من أقوالهم يناسب حال ذلك الشخص، وقال: إن التصوف كذا؛ فأشعر أن تصوف كل أحد صدق توجهه،وأن من له قسط من صدق التوجه له قسط من التصوف على قدر حاله".

Syekh Ahmad Zarruq berkata: "Ketahuilah bahwa fikih dan tasawuf adalah dua saudara dalam menunjukkan hukum-hukum Allah SWT. Hakikat tasawuf adalah kembali kepada kejujuran dalam menghadap kepada Allah SWT sesuai dengan apa yang diridhai-Nya dan dengan cara yang diridhai-Nya. Dan hal itu beragam; oleh karena itu, setiap orang mengklaimnya (tasawuf) sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, dan setiap orang mengungkapkannya sesuai dengan apa yang ia capai, berdasarkan tingkat tujuan, limpahan (karunia), dan semangat (kesungguhan)-nya. Para imam tasawuf mengakui hal ini. Bahkan, Abu Nu’aim dalam kitabnya Hilyatul Awliya’ sering kali tidak menyebut seorang tokoh kecuali ia menyertakan perkataan dari tokoh tersebut yang sesuai dengan keadaan orang tersebut, dan ia berkata: ‘Tasawuf adalah seperti ini’. Ini menunjukkan bahwa tasawuf setiap orang adalah kejujuran dalam menghadap (kepada Allah), dan siapapun yang memiliki bagian dari kejujuran dalam menghadap(kepada Allah), maka ia memiliki bagian dari tasawuf sesuai dengan keadaannya."

ثم الفقه والأصول شرط فيه، والمشروط لا يصح بدون شرطه، والشرط أن يكون بما يرضاه الحق من حيث يرضاه؛ فما لا يرضاه لا يصح أن يكون قربة إلا من حيث الوجه الذي يرضاه؛ فالصلاة يرضاها الحق، لكن لا في الأوقات الممنوعة،ولا على غير الوجه المستقيم،﴿وَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ  ﴾[الزمر:٧]؛ فلزم تحقيق الإيمان ﴿وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْ ﴾ [الزمر:٧]؛ فلزم العمل بالإسلام؛ فلا تصوف إلا بفقه؛ إذ لا تعلم أحكام الله الظاهرة إلا منه، ولا فقه إلا بتصوف. إذ لا حقيقة للعلم إلا بالعمل، ولا عمل إلا بصدق توجه، ولا هما إلا بإيمان. إذ لا يصحان دونه؛ فهو بمنزلة الروح، وهما بمنزلة الجسد لا ظهور له إلا فيهما، ولا كمال لهما إلا به، وهو مقام الإحسان المعبر عنه "بأن تعبد الله كأنك تراه"؛ غير أن نظر الفقيه مقصور على ما يسقط به الحرج، ونظر الأصولي متعد لما يحصل به الكمال؛ فيطلب في باب الأصول على تحلية الإيمان بالإيقان حتى يصير في معد العيان، وفي باب الفقه على أن يأخذ بالأعلى أبدا؛ ثم له حكم يخصه فيما يخصه، ومدار الأمر فيه على اتباع الأحسن والأكمل؛ لقوله تعالى: ﴿ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗ ﴾ [الزمر:١٨](3)


(3) عدة المريد الصادق.فصل في تحرير الطريقة، وما بنيت عليه من شريعة وحقيقة.


Kemudian, fikih dan ushul adalah syarat dalam tasawuf, dan sesuatu yang disyaratkan tidak sah tanpa (memenuhi) syaratnya. Syaratnya adalah harus sesuai dengan apa yang diridhai Allah dari segi apa yang diridhai-Nya. Maka  sesuatu yang tidak diridhai-Nya tidak dapat dianggap sebagai pendekatan (kepada Allah) kecuali dalam bentuk yang diridhai-Nya. Misalnya, Allah meridhai shalat, namun tidak (diridhai) dalam waktu yang terlarang dan tidak dengan cara yang tidak benar. Sebagaimana firmanNya, "Dia pun tidak meridai kekufuran hamba-hamba-Nya." (Az-Zumar: 7), sehingga iman harus diwujudkan. (Dia juga berfirman), "Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu" (Az-Zumar: 7), maka pengamalan dalam Islam menjadi keharusan. Oleh karena itu, tidak ada tasawuf tanpa fikih karena hukum-hukum Allah yang zhohir tidak diketahui kecuali melalui fikih, dan tidak ada fikih tanpa tasawuf, karena ilmu tidak memiliki hakikat kecuali dengan amal, dan amal hanya berarti dengan kejujuran tujuan. Keduanya (fikih dan tasawuf) pun tidak sah kecuali dengan iman, karena iman itu seperti roh, sedangkan fikih dan tasawuf seperti jasad; tidak mungkin tampak kecuali dengan keduanya, dan tidak sempurna keduanya kecuali dengan iman. Inilah maqam ihsan yang digambarkan sebagai “Bahwa kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya”. Namun, perhatian seorang ahli fikih terbatas pada hal-hal yang menghilangkan kesulitan, sementara perhatian seorang ahli ushul mencakup hal-hal yang dapat mencapai kesempurnaan. Dalam ilmu ushul, yang dikejar adalah penyempurnaan iman dengan keyakinan yang kuat, sehingga keyakinan tersebut seolah-olah menjadi seperti sesuatu yang terlihat nyata. Sedangkan dalam fikih, yang dicari adalah untuk selalu memilih yang lebih tinggi (terbaik) dalam setiap keadaan. Setiap disiplin ilmu memiliki aturan tersendiri yang sesuai dengannya, dan inti dari semuanya adalah mengikuti yang terbaik dan paling sempurna. Sebagaimana firman Allah: “(Yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”. ([Az-Zumar: 18]).

قال الشاطبي: "كل مسألة مرسومة في أصل الفقه لا ينبني عليها فروع فقهية، أو آداب شرعية، أو لا تكون عونا على ذلك؛ فوضعها في أصول الفقه عارية؛ فيا عجبا لمن تفقه ولم يتصوف، أو تصوف دون أن يكون له سند من فقه يعينه على السير، ويتكىٔ عليه في السلوك؛ فيقيه المزالق"(4) .


 (4)الموافقات.


Imam Al-Syatibi berkata: “Setiap permasalahan yang dirumuskan dalam ilmu ushul fikih tetapi tidak memiliki cabang-cabang fikih yang dibangun di atasnya, atau tidak (menghasilkan) adab-adab syar’i, atau tidak menjadi penolong dalam hal tersebut, maka meletakkannya dalam ushul fikih adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh mengherankan orang yang mendalami fikih tanpa tasawuf, atau bertasawuf tanpa memiliki landasan fikih yang membantunya dalam perjalanan (spiritual), dan yang menjadi pegangan dalam suluk  sehingga ia terhindar dari berbagai jebakan.”

وعليه فلا تصوف إلا بفقه ... إلخ"؛ لأن الصوفي في بداية سلوكه يبدأ بتصحيح عقيدته على مذهب أهل السنة والجماعة، وكذا تصحيح عباداته وفق ما جاءت به الشريعة ووضحه المصطفى بأقواله أو أفعاله أو تقريراته"خذوا عني مناسككم،وصلوا كما رأيتموني أصلي". ثم تصحيح معاملاته وفق أحكام الشريعة ومقاصدها؛ لأن التصوف في نظرهم ما هو إلا التطبيق العملي للإسلام متكاملا (عقيدة،وشريعة، ومعاملات) أو قل: (شريعة، وطريقة، وحقيقة) أو قل : (إسلام، وإيمان، وإحسان)

Oleh karena itu, tidak ada tasawuf tanpa fikih… dan seterusnya. Karena seorang sufi, dalam tahap awal perjalanannya (suluk), memulai dengan memperbaiki akidahnya sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, Demikian pula ia memperbaiki ibadah-ibadahnya sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh syariat yang dijelaskan oleh Nabi SAW, baik melalui perkataan, perbuatan, maupun ketetapan nabi. Sebagaimana nabi bersabda, “Ambillah dariku tata cara manasik kalian”, dan “Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Kemudian, ia memperbaiki muamalahnya sesuai dengan hukum-hukum dan tujuan-tujuan syariat, karena tasawuf menurut pandangan mereka tidak lain adalah penerapan praktis Islam secara utuh (yang meliputi) (akidah, syariat, dan muamalah). Atau dengan kata lain, (syariat, thariqat, dan hakikat). Atau (Islam, iman, dan ihsan).

قال الشيخ أحمد زروق: "مقصد التصوف وفائدته إفراد القلب، والقالب الله سبحانه؛ فكل علم ديني تبع له في قصده، وإن كان اكد في حكمه؛ فتأكده من جهة (العموم)، والشرطية فيه. إذ لا يرضى سبحانه لعباده الكفر؛ فيلزم تحقيق الإيمان بالأصول  ﴿وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْ ﴾ [الزمر:٧]؛ فلزم تحقيق ما به الشكر؛ وهو العمل بالفقه الذي هو الكلام على مقام الإسلام؛ فلا تصوف إلا بفقه. 

Syekh Ahmad Zarruq berkata: "Tujuan tasawuf dan manfaatnya adalah untuk memurnikan hati dan menjadikan hati serta tubuh hanya untuk Allah SWT. Maka, setiap ilmu agama mengikuti tasawuf dalam tujuannya, meskipun memiliki penegasan hukum yang lebih kuat.. Penegasan itu berasal dari sifatnya yang umum dan sifatnya yang bersyarat di dalamnya. Karena Allah tidak meridhai kekufuran bagi hamba-hamba-Nya, maka iman harus diwujudkan berdasarkan pokok-pokok ajaran agama. Allah berfirman, “Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu” (Az-Zumar: 7), maka yang wajib dilakukan adalah mewujudkan rasa syukur dengan beramal sesuai fikih, yang membahas tentang maqam Islam. Oleh karena itu, tidak ada tasawuf tanpa fikih.”

إذ لا تعرف أحكام الله الظاهرة إلا به، ولا فقه إلا بتصوف. إذ لا عبرة بفقه لا يصحبه صدق التوجه، ولا هما إلا بالإيمان. إذ لا يصحان دونه؛ ولذلك قيل: "من تصوف ولم يتفقه؛ فقد تزندق، ومن تفقه، ولم يتصوف؛ فقد تفسق، ومن جمع بينهما؛ فقد تحقق" .(5)


(5) قال الشيخ أحمد زروق موجها لقول الإمام مالك: "تزندق الأول لإهماله الشريعة، وتفسق الثاني لإهماله الحقيقة، وتحقق الثالث لجمعه بينهما".


Karena hukum-hukum Allah yang zhohir tidak dapat diketahui kecuali melalui fikih, dan tidak ada fikih tanpa tasawuf. Karena, fikih yang tidak disertai dengan kejujuran dalam menghadap (kepada Allah) tidak dianggap berarti, dan keduanya (fikih dan tasawuf) tidak mungkin ada tanpa iman. Karena, keduanya tidak akan sah tanpa iman. Oleh karena itu, dikatakan: Barang siapa bertasawuf tanpa mendalami fikih, maka ia telah menjadi zindiq. Barang siapa mendalami fikih tanpa bertasawuf, maka ia telah menjadi fasik . Dan barang siapa menggabungkan keduanya, maka ia telah mencapai kebenaran (hakikat)

قلت: وذاك لأن التصوف مداره على إفراد التوحيد؛ وذلك بدون عمل قول بالجبر، والآخر خلو عن التوجه، أو صدقه؛ وذلك يقتضي وجود المخالفة الدائمة؛ وهي فسق، والجمع بينهما خلو عن هذين؛ فهو تحقيق لعين المقصود، والله أعلم"(6).


(6) الفتوحات الرحمانية في حل ألفاظ الحكم العطائية. قمنا بتحقيقه.


Saya berkata: Hal itu karena inti tasawuf berputar pada pengesaan tauhid. Jika tanpa amal, maka itu hanyalah ucapan semata yang condong pada paham jabariyah (paham bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas). Sedangkan yang lain (amal tanpa tasawuf) kosong dari kejujuran dalam menghadap (kepada Allah) atau kejujuran itu sendiri. Ini akan menyebabkan penyimpangan yang terus-menerus, yang merupakan bentuk kefasikan. Menggabungkan keduanya (fikih dan tasawuf) berarti terbebas dari kedua kekurangan ini, sehingga menjadi sebuah realisasi dari tujuan hakiki yang dimaksudkan, dan Allah lebih mengetahui.

وقال ابن الجلاء:" من عامل الحق بالحقيقة، والخلق بالحقيقة فقد تزندق، ومن عامل الحق بالشريعة والخلق بالشريعة فهو سني، ومن عامل الحق بالحقيقة والخلق بالشريعة فهو صوفي"(7)


 (7) شرح نونية ومقطعات الششتري.


Ibn Al-Jalla' berkata(8): "Barang siapa berinteraksi dengan Allah hanya berdasarkan hakikat (tanpa syariat), dan berinteraksi dengan makhluk juga hanya berdasarkan hakikat, maka ia telah menjadi zindiq (menyimpang). Barang siapa berinteraksi dengan Allah berdasarkan syariat dan berinteraksi dengan makhluk juga berdasarkan syariat, maka ia adalah seorang Sunni (pengikut Ahlus Sunnah). Dan barang siapa berinteraksi dengan Allah berdasarkan hakikat dan berinteraksi dengan makhluk berdasarkan syariat, maka ia adalah seorang sufi.."


(8)AHMAD IBNU AL JALLA’A adalah salah seorang tokoh besar dari kalangan syekh sufi di Syam. Nama lengkapnya syekh Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al Jalla’. Beliau berasal dari Baghdad.


وقال الشيخ أحمد زروق أيضا: "نسبة التصوف من الدين نسبة الروح من الجسد؛ لأنه مقام الإحسان الذي فسره رسول الله صلى الله عليه وسلم بقوله: "أن تعبد الله كأنك تراها؛ فإن لم تكن تراه فإنه يراك". لا معنى له سوى ذلك؛ اذ مداره على مراقبة بعد مشاهدة، أو مشاهدة بعد مراقبة؛ وإلا لم يقم له وجود، ولم يظهر له موجود"(9)


(9)عدة المريد الصادق.


Syekh Ahmad Zarruq juga berkata: "Hubungan tasawuf dengan agama seperti hubungan roh dengan jasad, karena ia merupakan maqam ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: 'Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.' Tidak ada makna lain selain itu, karena tasawuf berporos pada muraqabah (pengawasan diri di hadapan Allah) setelah musyahadah (penyaksian hati kepada Allah), atau musyahadah setelah muraqabah. Jika tidak demikian, maka tasawuf tidak memiliki keberadaan dan tidak ada wujud nyata darinya."

وبحسب هذا فلا وجود له - أي التصوف - دون أخذه من الفقه والأصول؛ فلا عبرة بوجودهما دونه؛ إذ حقيقتهما إنما تظهر فيه، وحقيقه إنما تظهر فيهما؛ فهو أصلهما، وهما وجهه، وكل منهما متوقف على وجود صاحبه في كماله ونقصه.

Berdasarkan hal ini, tasawuf tidak akan ada tanpa mengambil dasar dari fikih dan ushul. Begitu pula, fikih dan ushul tidak akan berarti tanpa tasawuf, karena hakikat fikih dan ushul terwujud dalam tasawuf, dan hakikat tasawuf terwujud dalam fikih dan ushul. Tasawuf adalah asal dari keduanya (fikih dan ushul), dan keduanya adalah maksud dari tasawuf. Masing-masing bergantung pada keberadaan yang lain, baik dalam kesempurnaan maupun kekurangannya.

لذا فإن السلوك ينبغي أن يكون وفق الطريق المرسوم من الشرع  (من حيث يرضى الله) مع التقيد بالأسباب الشرعية (وبما يرضاه)؛ إذ جميع الطرق مسدودة وغير سالكة ما عدا الطريق المرسومة من الشرع وبالأسباب المشروعة والموافقة لمقاصده؛ فلايصح مشروط (التوجه إلى الله) بدون شرطة (والأسباب المشروعة الموافقة لمقاصد الشرع)، وعليه فلا إسلام بدون إيمان، ولا تصوف إلا بفقه لتلازمهما؛ لأن بالفقه تعرف أحكام الله الظاهرة، كما أن التصوف السني لا يكون إلا على هدي المشرع.

Oleh karena itu, perjalanan spiritual (suluk) harus sesuai dengan jalan yang ditetapkan oleh syariat (dari segi apa yang diridhoi Allah) dengan tetap berpegang pada sebab-sebab yang syar’i (dengan cara yang diridhoi Allah). Karena Semua jalan tertutup dan tak dapat dilalui, kecuali jalan yang ditetapkan oleh syariat dengan sebab-sebab yang disyariatkan dan sesuai dengan tujuan-tujuannya. Maka, tidak sah sesuatu yang bersyarat (tawajjuh kepada Allah) tanpa memenuhi syaratnya (sebab-sebab syar’i  dan selaras dengan tujuan syariat). Dengan demikian, tidak ada Islam tanpa iman, dan tidak ada tasawuf tanpa fikih karena keduanya saling terkait; sebab dengan fikih, hukum-hukum Allah yang zhohir dapat diketahui, sementara tasawuf yang sunni tidak ada kecuali dengan mengikuti petunjuk dari syariat.

       فطرق التخلية والتحلية عند البوذيين مثلا؛ وإن أوصلت إلى النرفانا أو التنويرة؛ فإنها غير مقيدة بصدق التوجه إلى الله من حيث يرضاه وبما يرضاه، ومن ثم لا يصح مشروط دون شرطه، فلزم التقيد بما حددته السنة النبوية في هذا المجال. 

Metode takhliyah (penyucian jiwa dari sifat buruk) dan tahliyah (penghiasan jiwa dengan sifat baik) yang digunakan oleh para penganut Buddha, misalnya, meskipun dapat membawa seseorang mencapai nirvana atau pencerahan, tidaklah terikat dengan kejujuran dalam menuju Allah baik dari segi apa yang diridhai-Nya maupun dengan cara yang diridhai-Nya. Oleh karena itu, tidak sah sesuatu yang bersyarat kejujuran dalam tawajjuh kepada Allah tanpa memenuhi syaratnya. Maka, menjadi suatu keharusan untuk terikat dengan apa yang telah ditentukan oleh sunnah Nabawiyah dalam hal ini.

فصدق التوجه مشروط بكونه من حيث يرضاه الشرع، أي أن يكون وفق القواعد الشرعية؛ فالصلاة للرياضة، والصوم للتخصيص وفقد الوزن، والتصدق لجلب رضا الناس؛ وإن حققت الأهداف الظاهرة؛ فإنها لم تحقق الهدف الشرعي، ولم ترتبط بشروطها التي اشترطها الشرع؛ ومن ثم فلا تصوف إلا بفقه الذي تعرف أحكام الله الظاهرة منه؛ كما أنه لا فقه إلا بتصرف؛ لأن الأعمال مرتبطة بالنيات وحسن التوجه إلى الله؛ وكونها خالصة الله تعالى.

Kejujuran dalam menghadap kepada Allah (tawajjuh) disyaratkan agar sesuai dengan apa yang diridhai oleh syariat, yaitu sesuai dengan aturan-aturan syar’i. Misalnya, shalat untuk tujuan olahraga, puasa untuk diet dan menurunkan berat badan, atau sedekah untuk mendapatkan pujian orang lain, meskipun tujuan lahiriahnya tercapai, namun tujuan syar’i tidak tercapai dan tidak sesuai dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh syariat. Oleh karena itu, tidak ada tasawuf tanpa fikih, karena hukum-hukum Allah yang zhohir diketahui melalui fikih. Begitu juga, tidak ada fikih tanpa tasawuf, karena amal perbuatan terkait dengan niat dan baiknya tawajjuh kepada Allah serta keikhlasan amal itu semata-mata hanya untuk Allah SWT.

وعليه فإن كل من له نصيب من التصوف مشروط بنصيبه في صدق التوجه إلى الله، ومن حيث يرضاه الحق تعالى وبما يرضاه: أي أن يكون وفق الضوابط والقواعد الشرعية. حيث يتقيد في العبادات وفق صريح ما جاء في القرآن الكريم، وبينته السنة النبوية الشريفة؛ مع اندراج الكل تحت صور الإسلام، والإيمان، والإحسان؛ حتى لا يخرج التصوف عن طريق الصواب، وجادة الحق (الصراط المستقيم).

Maka setiap orang yang memiliki bagian dalam tasawuf tergantung pada tingkat kejujurannya dalam menghadap kepada Allah, dengan cara dan dalam bentuk yang diridhai oleh Allah SWT, yaitu harus sesuai dengan ketentuan dan aturan syariat. Ia harus mematuhi aturan dalam ibadah sesuai dengan yang disebutkan secara tegas dalam Al-Qur'an dan dijelaskan oleh sunnah Nabi SAW, sehingga semuanya termasuk dalam kerangka Islam, iman, dan ihsan. Sehingga tasawuf tidak akan menyimpang dari jalan yang benar dan dari kebenaran (jalan yang lurus).

فالذي يدخل الخلوة ويكثر من المجاهدة الروحية ليصل إلى التنوير على طريقة البوذيين؛ فإنه قد خرج عن طريق الصدق في التوجه إلى الله؛ وإن تحقق له بعض مقصده ومراده.

Seseorang yang menyendiri dan banyak melakukan upaya spiritual untuk mencapai pencerahan dengan cara seperti para penganut Buddhisme, berarti telah keluar dari jalan yang benar dalam menghadap kepada Allah, meskipun ia mungkin mencapai sebagian tujuan dan keinginannya. 

عموما إذا كانت:

Secara umum, jika:

  • الشريعة هي  : ما شرعه الله من أحكام تكليفية، ووضعية في الكتاب والسنة.

Syariat adalah: hukum-hukum taklifi dan wad’i yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan sunnah.

  • والطريقة هي : سلوك طريق الشريعة، والعمل بأحكام الكتاب والسنة، وبالمقاصد والغايات من الأحكام الظاهرة أمرا ونهيا؛ وهي الجسر الموصل من الشريعة إلى الحقيقة.

Thariqah (jalan) adalah: menempuh jalan syariat, mengamalkan hukum-hukum Al-Qur’an dan sunnah, serta mengikuti tujuan dan maksud dari hukum-hukum lahiriah, baik perintah maupun larangan. Thariqah merupakan jembatan penghubung dari syariat menuju hakikat.

  • والحقيقة هي :أنوار وأسرار يثمرها العمل بالكتاب والسنة، ويقذفها الله في قلوب السالكين لدرب الطريقة على هدي الشريعة. حيث تكسب تلك الأنوار التفقه وفهم مقاصدها وغاياتها وأسرارها ومراميها مصداقا لقوله تعالى: ﴿ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ﴾ [البقرة: ٢٨٢]، وقوله تعالى: ﴿هُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ  فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗ اِلَّا اللّٰهُ وَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا  وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ﴾ [آل عمران: ٧] حيث كان ابن عباس رضي الله عنهما يقول: "أنا ممن يعلم تأويله. أنا من الراسخين في العلم."

Hakikat adalah: cahaya-cahaya dan rahasia-rahasia yang dihasilkan dari mengamalkan Al-Qur’an dan sunnah, yang Allah tanamkan ke dalam hati para pelaku thariqah yang mengikuti petunjuk syariat. Cahaya-cahaya tersebut memberikan pemahaman mendalam (tafaqquh) tentang tujuan-tujuan, maksud-maksud, rahasia-rahasia, dan sasaran-sasarannya, sebagai pembuktian terhadap firman Allah SWT: "Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan pengajaran kepadamu" (Al-Baqarah: 282), serta firman-Nya: "Dialah (Allah) yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad). Di antara ayat-ayatnya ada yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat.Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan pada kesesatan, mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan keraguan) dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal, tidak ada yang mengetahui takwilnya, kecuali Allah. Orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali ululalbab." (Ali Imran: 7). Ibn Abbas RA berkata: "Saya adalah salah satu orang yang mengetahui takwilnya. Saya adalah bagian dari orang-orang yang mendalam ilmunya."

والشريعة، والطريقة، والحقيقة متلازمة؛ فالطريق إلى الله تعالى ظاهر وباطن؛ فظاهرها الشريعة والطريقة، وباطنها الحقيقة؛ فباطن الحقيقة في الشريعة والطريقة، كامن ككمون الزبد في اللبن حيث لا يظهر الزبد إلا بمخض اللبن.

Syariat, thariqah, dan hakikat saling terkait; jalan menuju Allah SWT memiliki aspek lahir dan batin; aspek lahirnya adalah syariat dan thariqah, sedangkan aspek batinnya adalah hakikat. Batinnya hakikat terdapat dalam syariat dan thariqah, seperti kandungan mentega dalam susu, di mana mentega tidak akan tampak kecuali dengan mengocok susu tersebut.

فلا تعارض بين الشريعة والحقيقة خلافا لما يراه الفقهاء المتزمتون؛ إذ لا حقيقة بدون شريعة، ولا شريعة بدون حقيقة؛ فإذا كان ظاهر الشريعة هو المقصود بالأمر والنهي، والوجوب والمنع؛ فإن باطن الشريعة هو مدلولاتها وما يستنبط منها، وما ترمي إليه من مقاصد وغايات وأبعاد وعلل؛ وفهم ذلك لا يتأتى إلا بالمجاهدة، وصقل النفس بالعبادة وفقا لظاهر الشريعة، وما سنه الرسول صلى الله عليه وسلم اقتداء به.

Tidak ada pertentangan antara syariat dan hakikat, berbeda dengan pandangan para fuqaha yang terlalu kaku; karena tidak ada hakikat tanpa syariat, dan tidak ada syariat tanpa hakikat. Jika yang tampak dari syariat adalah yang dimaksud dengan perintah dan larangan, kewajiban dan pencegahan, maka batin dari syariat adalah makna-makna yang terkandung di dalamnya, apa yang dapat diambil darinya, serta apa yang dimaksudkan oleh syariat berupa tujuan, maksud, dimensi, dan sebab-sebabnya. Memahami hal tersebut tidak dapat tercapai kecuali  perjuangan (mujahadah) dan membersihkan jiwa dengan ibadah yang sesuai dengan syariat lahiriah, serta apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebagai teladan.

  قال الشيخ أحمد زروق: "واعلم أن كل حقيقة لا تشهد لها الشريعة فليست بحقيقة، وكل باطن لا تظهر له صورة في الظاهر لا عبرة به. إن الحق واحد والحق لا يتنافى مع الحق"(10)


(10)مقدمة شرحه الخامس عشر على الحكم العطائية.


Syekh Ahmad Zarruq berkata: "Ketahuilah bahwa setiap hakikat yang tidak didukung oleh syariat bukanlah hakikat, dan setiap batin yang tidak tampak dalam bentuk lahirnya tidaklah berarti. Sesungguhnya kebenaran itu satu, dan kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran lainnya".

ويضيف قائلا: "... كل باطن سوى العقيدة، فجيده عن الحقيقة عاطل، وما ضر كثير من الناس إلا اعتقاد الفرق بين المذهبين والتباين بين الطريقتين، حتى خالف الحق المعتاد".

Ia juga menambahkan: "... Setiap perkara  batin tanpa disertai akidah, maka memperbaikinya dengan hakikat itu tidak berguna, dan banyak orang yang tergelincir karena keyakinan mereka tentang perbedaan antara dua mazhab atau perbedaan antara dua thariqah, hingga mereka menyimpang dari kebenaran yang lazim (biasa)."

ويقول أيضا: "نسبة التصوف من الدين نسبة الروح من الجسد؛ لأنه مقام الإحسان الذي فسره رسول الله بقوله: "أن تعبد الله كأنك تراه؛ فإن لم تكن تراه؛ فإنه يراك"؛ فلا معنى له سوى ذلك إذ مداره على مراقبة بعد مشاهدة، أو مشاهدة بعد مراقبة؛ وإلا لم يقم له وجود، ولم يظهر له موجود؛ فافهم.(11)


(11) عدة المريد الصادق.


Ia juga berkata: "Hubungan antara tasawuf dan agama adalah seperti hubungan antara roh dan jasad; karena tasawuf adalah maqam ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah dengan sabdanya: 'Bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu..' Tidak ada makna lain selain itu, karena tasawuf berfokus pada pengawasan diri (muraqabah) setelah penyaksian batin (musyahadah), atau penyaksian setelah pengawasan.; jika tidak demikian, maka tidak ada keberadaannya, dan tidak ada wujud yang tampak darinya. Pahamilah”.

وبحسب هذا فلا "وجود للتصوف دون أخذه من الفقه، والأصول (أي: العقائد)، كما أنه لا عبرة بوجودهما دونه. إذ حقيقتهما إنما تظهر فيه، وحقيقته إنما تظهر فيهما؛ فهو أصلهما، وهما وجهه، وكل منهما متوقف على وجود صاحبه في كماله ونقصه؛ فافهم".

Berdasarkan ini, tidak ada "keberadaan tasawuf tanpa mengambilnya dari fikih dan ushul (yaitu: aqidah), sebagaimana tidak ada makna dari keberadaan fikih dan ushul tanpa tasawuf Sebab, hakikat fikih dan ushul hanya muncul dalam tasawuf, dan hakikat tasawuf hanya muncul dalam fikih dan ushul.; Maka, tasawuf adalah asal dari keduanya, sementara fikih dan ushul adalah wajahnya. Masing-masing bergantung pada keberadaan yang lain, baik dalam kesempurnaannya maupun kekurangannya.; pahamilah”.

ورغم ذلك فكل العلوم دونه - أي: التصوف - في الفضل، كما يرى الشيخ أحمد زروق؛ لأن الصوفي دائما ينشد الكمال.

Meskipun demikian, semua ilmu berada dibawahnya — yaitu tasawuf — dalam hal keutamaan, seperti yang dilihat oleh Syekh Ahmad Zarruq; karena seorang sufi selalu mencari kesempurnaan.

ويرجع الشيخ أحمد زروق سبب الاختلاف القائم بين الفقهاء والصوفية إلى: "الجهل بأصول الطريقة، واعتقاد أن الشريعة خلاف الحقيقة؛ وهذا هو الأصل الكبير في ذلك؛ وهو من مبادئ الزندقة، ومنه خرجت الطوائف كلها، وصار الفروعي الجامد لا يتوقف عن سب الصوفي، والمتصوف الجاهل لا يتوقف عن النفور من العلم وأهله، ويخالف ظاهر الشريعة في أمره، ويرى ذلك كمالا في محله."(12)


(12) عدة المريد الصادق.


Syekh Ahmad Zarruq mengembalikan sebab perbedaan antara para fuqaha dan para sufi adalah: "ketidaktahuan tentang dasar-dasar tarekat, dan keyakinan bahwa syariat bertentangan dengan hakikat; Ini adalah akar utama dari persoalan tersebut, yang merupakan salah satu awal mula zindiq (penyimpangan agama). Dari sinilah muncul semua kelompok sempalan, hingga fuqaha yang kaku tidak berhenti mencela kaum sufi, sementara sufi yang bodoh tidak berhenti menolak ilmu dan ahli ilmu, menyelisihi syariat dalam tindakannya, dan menganggap hal itu sebagai kesempurnaan di tempatnya."

لقد استطاع الشيخ أحمد زروق أن يوفق بين الفقه والتصوف؛ لأنه يرى أن لهما غاية مشتركة؛ فإذا كان الفقه يتوخى إصلاح العمل عن طريق المعرفة بالأحكام الشرعية؛ فإن التصوف يسعى إلى إصلاح القلب عن طريق معرفته الله المعرفة الصادقة. 

Shekh Ahmad Zarruq berhasil menyatukan antara fikih dan tasawuf; karena ia melihat keduanya memiliki tujuan yang sama; jika fikih bertujuan untuk memperbaiki amal melalui pemahaman terhadap hukum-hukum syariat, maka tasawuf berusaha memperbaiki hati melalui pengetahuan tentang Allah dengan pengetahuan yang benar.

إذن فالتكامل بين الفقه والتصوف، وبين الفقهاء والصوفية أمر ضروري.

Maka, integrasi antara fikih dan tasawuf, serta antara para fuqaha dan para sufi, adalah hal yang penting.


فلا مجال إذن للصراع بين الفقهاء والصوفية؛ لأن الجمع بين الشريعة والحقيقة ضروري ولأن أئمة المذاهب الفقهية، وكبار الفقهاء قد جمعوا بين الفقه والتصوف.

Maka tidak ada alasan untuk perselisihan antara para fuqaha dan para sufi; karena penggabungan antara syariat dan hakikat itu penting, dan karena para imam mazhab fikih serta ulama besar telah menggabungkan fikih dan tasawuf.

وفي هذا المعنى يقول الإمام الشافعي:

Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata 

فقيها وصوفيا فكن ليس واحــــــدا ۞   فـــــــإنى وحـق الله إيـــــــــاك أنصح            

فذاك قاس لم يذق قلبه تقى ۞  وهـــــذا جهول كيف ذو الجهل يصلح

Jadilah seorang faqih dan seorang sufi,, jangan hanya menjadi salah satunya saja.
Karena demi Allah, aku menasehatimu dengan sejujur-jujurnya,
Seorang faqih yang keras hatinya tidak merasakan ketakwaan dalam hatinya,
Dan seorang sufi yang bodoh, bagaimana mungkin kebodohan itu bisa memperbaiki sesuatu?"


       وكان يقول: "حبب إلي من دنياكم ثلاث: ترك التكلف، وعشرة الخلق بالتلطف، والاقتداء بطريق أهل التصوف."(13)


(13) كشف الخفا للعجلوني.


"Ia juga pernah berkata: 'Tiga hal yang aku sukai dari dunia kalian: meninggalkan sikap berlebihan, bergaul dengan manusia dengan lemah lembut, dan mengikuti jalan para ahli tasawuf.

أما الإمام أحمد؛ فكان يقول لابنه عبد الله: "يا بني عليك بالحديث، وإياك ومجالسة هؤلاء الذين سموا أنفسهم صوفية؛ فإنهم ربما كان أحدهم جاهلا بأحكام دينه؛ فلما صحب أبا حمزة البغدادي الصوفي، وعرف أحوال القوم؛ أصبح يقول لولده: يا ولدي عليك بمجالسة هؤلاء القوم؛ فإنهم زادوا علينا بكثرة العلم، والمراقبة والخشية والزهد وعلو الهمة"(14).


 (14) تنوير القلوب الأمين الكردي.


Adapun Imam Ahmad, beliau pernah berkata kepada putranya Abdullah: 'Wahai anakku, berpegang teguhlah pada hadits, dan hindarilah bergaul dengan orang-orang yang menyebut diri mereka sufi, karena mungkin salah seorang dari mereka tidak tahu hukum-hukum agamanya. Namun, setelah ia bersahabat dengan Abu Hamza al-Baghdadi, seorang sufi, dan mengetahui keadaan kaum sufi, ia mulai berkata kepada anaknya: Wahai anakku, hendaklah engkau bergaul dengan orang-orang ini, karena mereka telah melebihi kita dalam banyak ilmu,muraqabah, khosyyah, kezuhudan, dan semangat yang tinggi.

وعن أبي حنيفة قال القشيري في رسالته:" سمعت الأستاذ أبا علي الدقاق يقول: أنا أخذت هذه الطريقة من أبي القاسم النصراباذي، وقال أبو القاسم: أنا أخذتها من الشبلي، وهو أخذها عن السري السقطي، وهو من معروف الكرخي، وهو من داود الطائي، وهو أخذ العلم والطريقة عن أبي حنيفة".

Dan tentang Imam Abu Hanifah, al-Qusyairi dalam risalahnya berkata: “Saya mendengar guru saya, Abu Ali al-Daqqaq, berkata: Saya mengambil jalan ini dari Abu al-Qasim al-Nasrabadhi, dan Abu al-Qasim berkata: Saya mengambilnya dari al-Syibli, dan al-Syibli mengambilnya dari al-Sari al-Saqati, yang mengambilnya dari Ma'ruf al-Karkhi, yang mengambilnya dari Dawud al-Tha'i, dan Dawud al-Tha'i menerima ilmu dan thariqah ini dari Abu Hanifah”.

قال الثوري لمن قال له - على سبيل الإنكار : "جئت من عند أبي حينفة؟": "لقد جئت من عند أعبد أهل الأرض".

Ats-Tsauri berkata kepada seseorang yang dengan nada mencela bertanya kepadanya: “Apakah kamu baru saja datang dari Abu Hanifah?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya saya baru saja datang dari orang yang paling banyak beribadah di muka bumi ini”.

وقال العز بن عبد السلام: "قعد القوم من الصوفية على قواعد الشريعة التي لا تنهدم دنيا وأخرى، وقعد غيرهم (يعني الفقهاء) على الرسم"_(15).


(15) نور التحقيق الحامد صقر.


al-Izz bin Abd al-Salam berkata: “Kaum sufi berpegang teguh pada dasar-dasar syariat yang tidak akan runtuh baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan selain mereka fuqaha hanya berpegang pada kaidah-kaidah formal”.

وقال الغزالي: "إني علمت يقينا أن الصوفية هم السالكون لطريق الله تعالى، وأن سيرتهم أحسن السير، وطريقهم أصوب الطرق، وأخلاقهم أزكى الأخلاق …."(16) 


(16) المنقذ من الضلال.


Imam al-Ghazali berkata: “Saya yakin dengan pasti bahwa kaum sufi adalah mereka yang menempuh jalan Allah, dan bahwa perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang paling benar, dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling suci…”

ويقول الشاطبي : ".... وقد بنوا - أي: الصوفية - نحلتهم على اتباع السنة، وهم باتفاق أهل السنة صفوة الله من الخليقة". 

al-Syatibi berkata: “Kaum sufi membangun ajaran mereka berdasarkan mengikuti sunnah, dan mereka, dengan kesepakatan ahli sunnah, adalah orang-orang pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya..”


لذا فـ "إن الفقه والتصوف أخوان في الدلالة على أحكام الله سبحانه".

Oleh karena itu, “Ilmu fikih dan tasawuf adalah dua saudara dalam menunjukkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa SWT”.

هذا ولقد وضع الشيخ أحمد زروق الأسس العامة للجمع بين الحقيقة والشريعة بعدما كان التناحر قائما بين الفقهاء والصوفية؛ حيث اعتبر التصوف بالنسبة للفقه وعلم الأصول "التوحيد" بمثابة الروح من الجسد؛ فالتصوف "روحهما؛ كما أنهما - الفقه والمنطق أو علم الكلام: أي علم التوحيد - له كالجسد. لا كمال لهما إلا به؛ كما لا ظهور له بدونهما؛ فهما شرطان في صحته؛ كما أنه شرط في كمالهما"(17)


(17)اغتنام الفوائد (الشرح الثاني لعقيدة الغزالي). قمنا بتحقيقه.


"Syekh Ahmad Zarruq telah meletakkan dasar-dasar umum untuk menggabungkan antara hakikat dan syariat, setelah adanya perselisihan antara para fuqaha dan kaum sufi. Beliau menganggap tasawuf, dalam kaitannya dengan fikih dan ilmu ushul (tauhid) adalah seperti roh bagi jasad. Tasawuf adalah 'roh' bagi keduanya, sementara fikih dan ilmu logika atau ilmu kalam—yakni ilmu tauhid—adalah jasad bagi tasawuf. Tidak ada kesempurnaan bagi keduanya kecuali dengan adanya yang satu, dan tidak ada kemunculannya tanpa yang lain. Keduanya merupakan syarat bagi keabsahannya, sebagaimana tasawuf adalah syarat bagi kesempurnaannya."

وستعطي هذه الأسس ثمارها على يد من جاء من تلامذته من بعده أمثال محمد الخروبي، والهبطي، وعبد الواحد بن عاشر، وأحمد المقري، واليوسي، والجنوي، وابن عجيبة، والمكودي...)؛ بل وجميع من أتى من بعد الشيخ أحمد زروق الذين جمعوا في مؤلفاتهم الفقهية بين العقيدة الأشعرية، والفقه المالكي، والتصوف السني / الجنيدي.

"Dasar-dasar ini kemudian memberikan hasil yang nyata melalui tangan para murid beliau yang datang setelahnya, seperti Muhammad al-Kharubi, al-Habti, Abd al-Wahid bin Ashir, Ahmad al-Maqri, al-Yusi, al-Janawi, Ibn Ajibah, al-Makudi, dan lain-lain. Bahkan, seluruh tokoh yang datang setelah Syekh Ahmad Zarruq menggabungkan dalam karya-karya fikih mereka antara akidah Asy’ariyah, fikih Maliki, dan tasawuf sunni ala Junaid al-Baghdadi."

هام: تعتبر هذه القاعدة مؤطرة لعموم ما سيرد في بقية القواعد فـ:

"صدق التوجه مشروط بكونه من حيث يرضاه الحق تعالى، وبما يرضاه.... إلخ

ذلك أن إخلاص النية للّه تعالى - مع مراعاة المقاصد الشرعية - واجبة في كل معتقد أو قول،أو فعل".


Catatan penting:
Dasar ini menjadi kerangka umum dari seluruh kaidah yang akan disebutkan berikutnya, yaitu: 

"Kejujuran dalam menghadap kepada Allah mensyaratkan bahwa ia harus sesuai dengan apa yang diridhai oleh Allah SWT dan dengan cara yang diridhai-Nya... dan seterusnya.

Hal ini karena ikhlas dalam niat kepada Allah SWT, dengan tetap memperhatikan tujuan-tujuan syariat, adalah wajib dalam setiap keyakinan, perkataan, dan perbuatan”.





Mutarjim : Muhammad Sirojul Abidin

Contact Person : 0895420793131

Email : abidinsiroj5@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

al-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.

Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid.

Kementerian agama republik indonesia “Al-Qur’an kemenag” layanan kemenag (2022):2

Syafiie, Kuswaidi (2021, 1 Januari) Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’.09 Januari  2025, dari https://basabasi.co/syaikh-abu-abdillah-bin-al-jala/


Posting Komentar untuk "QOIDAH 4 : KEJUJURAN DALAM MENGHADAPKAN DIRI (KEPADA ALLAH) DISYARATKAN PADA KERIDHAAN ALLAH"