![]() |
Sumber Jakarta, aktual.com |
قَاعِدَةٌ : (٤٢)(1)
التَّقْلِيدُ، وَالْاقْتِدَاءُ، والتَّبَصُّرُ، وَالْاجْتِهَادُ، وَالْمَذْهَبُ
(1)أي القاعدة ٤٣ عند تحقيق شيخ إدريس طيب
taqlid(meniru), iqtida’(mengikuti), tabassur(merenung), ijtihad(berusaha), madzhab(bermadzhab)
التَّقْلِيدُ: أَخْذُ الْقَوْلِ مِنْ غَيْرِ اسْتِنَادٍ لِعَلَامَةٍ فِي الْقَائِلِ، وَلَا وَجْهَ فِي الْمَقُولِ. فَهُوَ مَذْمُومٌ مُطْلَقًا، لِاسْتِهْزَاءِ صَاحِبِهِ بِدِيْنِهِ .
Taqlid: mengambil ucapan tanpa dasar dari yang berkata, dan tidak ada dasar pada apa yang dikatakan. maka taqlid itu tercela secara mutlak, karena meremehkan agama saudaranya.
وَالِاقْتِدَاءُ: الِاسْتِنَادُ فِي أَخْذِ الْقَوْلِ الدِّيَانَةَ صَاحِبُهُ وَعِلْمِهِ، وَهَذِهِ رُتْبَةُ اصْحَابِ الْمَذَاهِبِ مَعَ أَئِمَّتِهَا ، فَإِطْلَاقُ التَّقْلِيدِ عَلَيْهَا مَجَازٌ .
Iqtida’: penyandaran dalam mengambil ucapan yaitu agama dan keilmuan orang yang berbicara, ini adalah kedudukan dari orang-orang bermadzhab serta pemimpin mereka, maka penyebutan taqlid atas mereka hanyalah kiasan.
وَالتَّبَصُّرُ : أَخْذُ الْقَوْلِ بِدَلِيلِهِ الْخَاصِّ بِهِ مِنْ غَيْرِ اسْتِبْدَادٍ بِالنَّظَرِ، وَلَا إِهْمَالَ لِلْقَوْلِ. وَهِيَ رُتْبَةُ مَشَايِخِ الْمَذَاهِبِ وَأَجَاوِيدَ طَلَبَةُ الْعِلْمِ .
Tabassur: mengambil ucapan dengan bukti khusus yang mendukungnya tanpa sewenang-wenang dalam penilaian, dan tidak mengabaikan ucapannya. Dan itu adalah tingkatan para guru ulama-ulama yang bermazhab dan orang-orang mulia dari para penuntut ilmu.
وَالِاجْتِهَادُ: اقْتِرَاحُ الْأَحْكَامِ مِنْ أَدِلَّتِهَا ، دُونَ مُبَالَاةٍ بِقَائِلٍ . ثُمَّ إِنْ لَمْ يُعْتَبَرْ أَصْلٌ مُتَقَدِّمٌ فَمُطْلَقٌ، وَإِلَّا فَمُقَيَّدٌ.
Ijtihad: pengusulan beberapa hukum berdasarkan dalil-dalilnya, tanpa memperhatikan siapa yang mengatakannya. kemudian tidak dianggap sebagai dasar yang lebih awal, maka disebut ijtihad mutlaq, jika tidak, maka disebut ijtihad muqoyyad.
وَالْمَذْهَبُ : مَا قَوِيَ فِي النَّفْسِ، حَتَّى اعْتَمَدَهُ صَاحِبُهُ. وَقَدْ ذَكَرَ هَذِهِ الْجُمْلَةَ بِمَعَانِيهَا فِي مِفْتَاحِ السَّعَادَةِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Madzhab: apa yang kuat didalam diri seorang, sehingga pengikutnya berpegangan padanya. dan beliau telah menyebut dengan makna nya dalam kitab miftahus sa’adah (kunci kebahagiaan) Allah SWT lebih mengetahui.
********************************
شرح عند شيخ محمد ادريس طيب:
هذه القاعدة هي امتداد للقاعدة السابقة؛ حيث يميز الشيخ أحمد زروق - هنا بين التقليد والاقتداء؛ فإذا كان الاقتداء بإمام أو عالم عامل - كالاقتداء بأئمة المذاهب الفقهية والصوفية - محبوب ومطلوب؛ فإن التقليد مذموم، لا يلجأ إليه إلا عاجز أو جاهل؛ فالتقليد هو "الوقوف مع ظواهر الأمور والجمود معها من غير التفات للمعاني والمباني"(2) ولا مجال للتقليد الأعمى في فهم خطاب الشارع خصوصا في العقيدة ؛ فهو يناقض الاقتداء الواقع عن اهتداء وتبصرة. قال برهان الدين اللقاني في أرجوزته: جوهرة التوحيد:
إذ كل من قلد في التوحيد * إيمانه لم يخل من تردي
(2) مقدمة التصوف.
kaidah ini adalah lanjutan dari kaidah sebelumnya, disini Syaikh Ahmad Zarruq membedakan antara taqlid dan iqtida’, apabila iqtida’ itu dengan imam atau ulama yang beramal (seperti iqtida’ para imam dalam mazhab fiqih dan tasawuf) yang dicintai dan diinginkan, "maka taqlid itu tercela, hanya orang yang lemah atau bodohlah yang mengikutinya, “taqlid itu adalah terhenti dengan perkara-perkara dzahir dan stagnan tanpa mempertimbangkan makna dan prinsip”, Dan tidak ada ruang untuk taqlid buta dalam memahami wahyu Tuhan, terutama dalam masalah akidah maka ia bertentangan dengan iqtida’ yang berasal dari petunjuk dan pemahaman yang jelas, Telah berkata Burhanuddin al-Laknawi dalam kitabnya yang berjudul : Jauhar at Tauhid (Permata Tauhid).
Karena setiap orang yang melakukan taqlid dalam masalah tauhid
imannya tidak lepas dari keraguan
وعليه فإن إيمان المقلد في مسائل العقائد لا يخل من شك وتردد؛ ولذلك يقول في شرح الجوهرة: "إنما أوجبنا على المكلف معرفة ما ذكر بالدليل ليسلم له إيمانه من الشك والتزلزل الذي يعتري المقلدين؛ فإنهم وإن جزموا عقائدهم بما ذكر
- يقصد التقليد - ؛ لكنها قابلة للشك ومظنة للترديد بمعنى التردد والتحير "(3).
(3) هداية المريد.
Karena itu, iman orang yang taqlid dalam masalah aqidah tidak terlepas dari rasa ragu dan kebimbangan, dan maka dari itu beliau berkata dalam syarah kitab Jauharah: “ sesungguhnya kami mewajibkan bagi orang mukallaf untuk mengetahui apa yang disebutkan dengan dalil agar terjaga keimanannya dari keraguan dan kebingungan yang menghampiri para muqalid, karena meskipun muqalid menetapkan keyakinan mereka dengan apa yang telah disebutkan, namun keyakinan tersebut tetap dapat diragukan dan berpotensi untuk kebimbangan, yang berarti keraguan dan kebingungan.
* ويعني الاقتداء أو الاقتفاء: الاتباع من غير خروج يمينا ولا شمالا؛ بل كأنه في قفا متبوعه، ومنه الاقتداء بأصحاب المذاهب الأعلام؛ سواء في الفقه أو التصوف.
Yang dimaksud dengan iqtida’ atau iqtifa’ adalah: mengikuti tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. bahkan seolah-olah dia berada di belakang yang diikuti, dan dari sini pula mengikuti para pemimpin mazhab yang terkenal, baik dalam fiqih ataupun tasawuf.
* أما التبصر والاجتهاد؛ فمطلوبين ممن توفرت فيه شروطهما؛ فإذا تم التحقق بهما صار صاحبهما صاحب مذهب فقهي، أو كلامي، أو صوفي؛ كما هو الشأن بأصحاب المذاهب المعروفة في كل مجال.
Adapun pemahaman yang mendalam dan ijtihad, maka keduanya diwajibkan bagi siapa yang memenuhi syarat-syaratnya, Jika kedua hal itu terpenuhi, maka pemiliknya menjadi seorang pemimpin mazhab fiqih, atau seorang ahli kalam, atau seorang sufi; seperti halnya yang terjadi pada para pemimpin mazhab yang terkenal di setiap bidang.
وإذا كان التقليد هو : "الوقوف مع ظاهر الأمور والجمود معها من غير التفات للمعاني والمباني؛ بل كما قال: قف حيث وقفوا؛ ثم فسر (4). والمقلد هو :"الآخذ لقول الغير من غير حجة؛ والمختار أنه إذا كان آخذا لقول الغير مع احتمال شك أو وهم؛ فلا يصح؛ وإلا فيصح؛ ولكنه عاص بترك الاستدلال؛ وعليه الأئمة الأربعة، والثوري، والأوزاعي، وكافة أهل الظاهر، وكثير من المتكلمين. خلافا لأكثرهم، والمعتزلة". اغتنام الفوائد.
(4) رسالة في الطريق.
adapun taqlid itu adalah berhenti dengan perkara dzahir dan teguh tanpa pempertimbangkan makna dan prinsip, bahkan seperti yang dikatakan : berhentilah di tempat mereka berhenti, lalu jelaskan. orang yang taqlid dia adalah Orang yang mengikuti pendapat orang lain tanpa hujjah, dan pendapat yang dipilih adalah bahwa jika dia mengikuti pendapat orang lain dengan adanya kemungkinan keraguan atau kekeliruan, maka hal itu tidak sah, namun jika tidak ada keraguan, maka hal itu sah, Namun, dia berdosa karena meninggalkan penggunaan dalil, dan hal ini dipegang oleh empat imam mazhab, al-Tsauri , dan al-Auza'i, dan seluruh ahli dzahir, serta banyak dari kalangan ahli kalam, berbeda dengan sebagian besar dari mereka, dan juga dengan para Mu'tazilah”. (ightinaul fawaid)
قال ابن العريف: المقلد هو الذي إذا نزلت به نازلة سأل عنها الأئمة في الدين قصدا عمدا، والمقتدي هو الذي إذا نزلت به فزع إلى الأشهر في الدين والفضل والرأي السديد "(5).
(5) تحفة المريد.
Ibnu Arif berkata: orang yang bertaqlid yaitu dia yang yang ketika terjadi suatu kesulitan, dia bertanya tentangnya kepada para imam dalam agama dengan tujuan yang jelas dan sengaja. Sedangkan muktadi adalah orang yang ketika terjadi suatu masalah, dia merujuk kepada tokoh-tokoh yang terkenal dalam agama, keutamaan, dan pendapat yang benar
و" ظاهر كلام المؤلف أن التقليد كاف في العقائد الدينية؛ وبه قال جماعة من الأئمة، واحتجوا بقبوله عليه الصلاة والسلام إسلام أجلاف العرب ونحوهم؛ ولأنه كما يكفر المقلد في كفره، يصح إيمان المؤمن بتقليده. ثم ادعى قوم من هذه الطائفة الإجماع على قبوله، وقال قوم بوجوب النظر، وأنه أول الواجبات، وادعوا الإجماع على ذلك، ولا خلاف بين الفريقين بأنه أكمل.
Dan yang tampak dari perkataan penulis adalah bahwa taqlid cukup dalam masalah aqidah agama, dan pendapat ini dipegang oleh sejumlah imam, yang beralasan dengan penerimaan Islam oleh Rasulullah dari kalangan orang-orang Arab pedalaman dan sejenisnya, Dan karena sebagaimana orang yang melakukan taqlid dapat kufur dalam taqlidnya, demikian juga iman seorang mukmin bisa sah dengan taqlidnya, kemudian sekelompok orang dari golongan ini mengklaim bahwa ada kesepakatan untuk menerimanya, sementara sebagian lainnya mengatakan bahwa wajib melakukan penelitian, Dan itulah kewajiban pertama, dan mereka membenarkan adanya ijma' tentang hal itu, dan tidak ada perbedaan pendapat antara kedua pihak bahwa itu adalah yang paling sempurna.
قال الشاطبي: "فاتباع ما كان عليه الآباء والأشياخ وأشبه ذلك هو التقليد المذموم.
وقال أيضا: "ومن البدع رأي قوم التغالي في تعظيم شيوخهم … اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ﴾[التوبة: 31].
imam Syatibi berkata :”mengikuti apa yang diyakini oleh para nenek moyang dan orang-orang tua mereka, serta hal-hal semacam itu, adalah taqlid yang tercela”. Beliau juga berkata: 'Di antara bid'ah adalah pandangan sebagian orang yang berlebihan dalam mengagungkan para guru mereka… “Mereka menjadikan para nabi (Yahudi) dan para rahib (Nasrani) sebagai tuhan-tuhan selain Allah SWT”. ( at-taubah :31)
فالمقلد للصوفية من غير علم ولا سند يعتمد عليه أثم؛ وعليه فإن التعصب لطريقة الشيخ مطلقا يكون أكثر ضررا بالشيخ والطريقة من المنتقد لهما؛ رغم أن كلا من المتعصب والمنكر ينبغي أن يكونا على بصيرة، وأن يكون الانتصار، أو الانتقاد لمدى مطابقة الطريقة للشريعة أو مخالفتها لا للشيخ.
- Kaidah 35: Menilai Cabang Berdasarkan Asal dan Kaidahnya
- Kaidah 34: Orang yang Berbicara tentang suatu Cabang Ilmu Harus Menghubungkan Cabang-cabangnya dengan Pokok-pokoknya, dan Menyambungkan Pemahaman dengan Sumber-sumbernya
- Kaidah 6: Istilah itu untuk Sesuatu dengan Apa yang Menunjukkan Maknanya dan Menyampaikan Hakikatnya
وقال ابن أبي جمرة: "نقل الباجي عن شيخه السمناني: أن القول بأن أول الواجبات النظر، والاستدلال مسألة من الاعتزال بقيت في المذهب، على من اعتقدها "(6).
(6) اغتنام الفوائد.
maka orang yang taqlid kepada kaum sufi tanpa pengetahuan dan tanpa dasar yang kuat maka dia berdosa, dan oleh karena itu fanatisme terhadap tarekatnya guru secara mutlak akan lebih merugikan guru dan tarekat itu sendiri. Walaupun baik orang yang fanatik maupun orang yang mengingkari seharusnya berada dalam keadaan yang memiliki pemahaman yang jelas, dan bahwa pembelaan atau kritik seharusnya ditujukan untuk menilai sejauh mana kesesuaian tarekat dengan syariat atau penyimpangannya, bukan untuk menyerang guru.
dan berkata Ibnu Abi Jumroh : al-Baji mengutip dari guru beliau, as-Samanī, bahwa pendapat yang mengatakan bahwa pertama kali kewajiban adalah melakukan penelitian dan membuktikan dengan dalil terhadap suatu masalah yang disepikan dari penetapan mazhab, bagi siapa yang meyakininya.
قال ابن السبكي: "اختلف في التقليد في أصول الدين؛ وقيل النظر فيه حرام"، وعن الأشعري: "لا يصح إيمان المقلد"، وقال القشيري: "مكذوبا عليه".
والصحيح أن المسألة خلافية بين الأشاعرة؛ إلا أنهم متفقون على عدم صحة إيمان المقلد الذي لم يجزم بقول الغير في الاعتقاد.
Imam Ibnu as-Subki berkata: “Terdapat perbedaan pendapat mengenai taqlid dalam pokok-pokok agama, dan ada yang mengatakan bahwa melakukan penelitian dalam hal ini adalah haram”, Dan menurut al-Asy'ari, beliau berkata: 'Iman orang yang taqlid itu tidak sah. Sedangkan al-Qushayrī menyangkal dan berkata: 'Ini kebohongan terhadapnya
Dan yang tepat adalah bahwa masalah ini merupakan perbedaan pendapat di kalangan Asy'ariyyah, namun mereka sepakat yang tidak memiliki keyakinan pasti terhadap kebenaran pendapat orang lain dalam aqidah adalah tidak sah.
و مجمل القول في ذلك أن التقليد محرم؛ إلا أنهم اختلفوا فيمن تقع عليهم الحرمة على ثلاثة أقوال:
القول الأول: أن التقليد محرم مطلقا: وبناء على هذا القول فإنه لا يصح إيمان المقلد؛ سواء كان ذا أهلية للنظر فيه أم لا، وهو قول الباقلاني، وإمام الحرمين الجويني، والسنوسي.
Secara umum, pendapat tentang hal ini bahwa taqlid itu haram, namun mereka berbeda pendapat mengenai siapa saja yang termasuk dalam kategori yang diharamkan tersebut, dan perbedaan itu dibagi tiga pendapat:
pendapat yang pertama : Bahwa taqlid itu haram secara mutlak: Berdasarkan pendapat ini, iman orang yang melakukan taqlid tidak sah, baik yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian atau tidak, ini adalah pendapat al-Baqillani, Imām al-Haramain al-Juwaini, dan as-Sanusi.
القول الثاني: يقول بصحة إيمان المقلد مع حرمة التقليد؛ وعليه فالمقلد عاص؛ سواء كان ذا أهلية للنظر أم لا ؛ وهو قول جمهور المتكلمين، وينسب إلى أبي الحسن الأشعري؛ كما في أم البراهين للسنوسي.
pendapat yang kedua: Dia mengatakan bahwa iman orang yang melakukan taqlid itu sah, meskipun taqlid itu haram; maka orang yang melakukan taqlid tetap dianggap berdosa, baik dia memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian atau tidak, ini adalah pendapat mayoritas ahli kalam, dan juga dikaitkan dengan Abu Hasan al-Asy'ari, seperti yang terdapat dalam "Um al-Barahin" karya as-Sanusi."
القول الثالث: يصح إيمان المقلد؛ مع حرمته على صاحب الأهلية في النظر؛ وعليه يكون عاصيا مع صحة إيمانه؛ أما من لم يكن أهلا للنظر؛ فإيمانه صحيح دون عصيان؛ وهذا هو الرأي الذي مال إليه اللقاني؛ حيث قال: "إن يجزم بقول الغير كفى؛ كما قال به السبكي في جمع الجوامع.
pendapat yang ke tiga: Iman orang yang melakukan taqlid itu sah, meskipun taqlid itu haram bagi orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian, oleh karena itu, orang tersebut dianggap berdosa meskipun imannya sah. Adapun bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian, karena itu, iman orang tersebut sah tanpa dosa; ini adalah pendapat yang diambil oleh al-Laqani, yang mengatakan: “Jika seseorang teguh pada pendapat orang lain, itu sudah cukup, seperti yang juga dikatakan oleh al-Sibkī dalam Jam' al-Jawami’'.
وتجدر الإشارة إلى أن المقصود بالمقلد هنا "هو الذي لم يجزم بصحة قول الغير في الاعتقاد"؛ وعليه فمذهب أهل السنة أن عقيدة المقلد صحيحة؛ إذا كان يجزم بصحة عقيدة من يقلد؛ فالصحابة قلدوا الرسول صلى الله عليه وسلم؛ وعليه فالتقليد مذموم أما الاتباع فمأمور به شرعا.
والتحقيق: إن كان أخذا بقول الغير بغير حجة، مع احتمال شك، أو وهم؛ فلا يكفي، وإن كان جزما يكفي (7).
(7) تعليقة على عقيدة الغزالي للشيخ أحمد زروق.
Perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan muqallid di sini adalah orang yang tidak yakin dengan kebenaran pendapat orang lain dalam aqidah, oleh karena itu, mazhab Ahlus Sunnah menyatakan bahwa aqidah orang yang melakukan taqlid itu sah, Jika seseorang yakin dengan kebenaran aqidah yang dia ikuti, maka para sahabat bertaqlid kepada Rasulullah. Oleh karena itu, taqlid itu tercela, sementara ittiba’ adalah sesuatu yang diperintahkan dalam syariat.
Dan yang lebih tepat : Jika seseorang mengikuti pendapat orang lain tanpa dalil disertai kemungkinan adanya keraguan atau sangkaan yang salah, maka itu tidak cukup. Namun, jika dia yakin dengan pendapat orang lain, maka itu cukup.
والقول الفصل في الموضوع هو أن أوجب الواجباب على الفرد هو معرفة الله تعالى على الفطرة ﴿وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ﴾ [البينة: 5] لا على الاستدلال والنظر؛ لأن القول بذلك من بقايا آراء المعتزلة، وعلماء الكلام في الاعتقاد؛ لم يقل به أحد من سلف الأمة؛ بل هو ابتداع أهل الكلام من المعتزلة، وبقيت المسألة أصلا من أصول الأشاعرة والماتردية.
dan pendapat yang paling benar dalam masalah ini adalah bahwa yang paling wajib bagi setiap manusia adalah mengetahui Allah SWT berdasarkan fitrah (Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus){al-bayyinah:5} Bukan dengan menggunakan dalil dan penelitian, karena pendapat tersebut merupakan salah satu sisa dari pendapat-pendapat kaum Mu'tazilah, dan para ahli kalam dalam masalah aqidah; tidak ada seorangpun yang mengatakannya. hal ini adalah perbuatan bid’ah dari kaum ahli kalam dari Mu'tazilah, dan masalah ini tetap menjadi pokok ajaran dari asy'ariyah dan maturidiyah.
إن الإيمان بالله أمر فطري مغروس في النفوس قبل أن تتكدر. قال عليه السلام: ما من مولود إلا يولد على الفطرة ..."أي على الإسلام والتوحيد؛ وفي رواية أخرى للحديث: "ما من مولود يولد إلا وهو على الملة ؛ وعليه فوجوب معرفة الله بالشرع
لا بالعقل.
Sesungguhnya iman kepada Allah SWT adalah sesuatu fitrah yang tertanam dalam jiwa-jiwa sebelum adanya kerusakan. Rasulullah bersabda: Tidak ada seorang pun yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan suci …” Yaitu dalam keadaan Islam dan Tauhid, dan dalam riwayat lain dari hadis tersebut: tidak ada seorang pun yang lahir kecuali dalam keadaan millah (agama) yang benar, Karena itu, kewajiban untuk mengetahui Allah SWT adalah melalui syariat, bukan melalui akal.
"الاقتداء: هو الاستناد في أخذ القول الديانة صاحبه وعلمه؛ وهذه رتبة
أصحاب المذاهب مع أئمتها؛ فإطلاق التقليد عليها مجاز (8).
التبصر : هو أخذ القول بدليله الخاص به من غير استبداد بالنظر، ولا
إهمال للقائل، وهي رتبة مشايخ المذاهب وأجاويد طلبة العلم (9).
(8) كما ذكر في القاعدة، وفي تعليقة على عقيدة الغزالي.
(9)تأسيس القواعد والأصول.
Iqtida': adalah penyandaran pada pendapat orang yang berilmu dalam mengambil suatu pendapat, dan ini adalah tingkatan orang yang bermazhab bersama imam-imam mereka, maka menyebutnya sebagai taqlīd atas mereka hanyalah kiasan.
Tabassur : adalah mengambil suatu pendapat dengan dalil khusus yang mendukungnya, tanpa bersikap sewenang-wenang dalam meneliti, dan tanpa mengabaikan siapa yang mengemukakan pendapat tersebut. Ini adalah tingkatan para guru-guru mazhab dan para penuntut ilmu
إذا كان الإيمان هو التصديق؛ فبأي وجه حصل كفى؛ وقد قبل عليه الصلاة والسلام من أجلاف العرب مجرد الاعتقاد مع الشهادتين.
قال الشيخ الزواوي:
Jika iman itu adalah pembenaran, maka dengan cara apapun hal itu dapat diterima. Dan Rasulullah menerima dari kaum Arab pedalaman hanya dengan keyakinan mereka bersama syahadat
Syaikh Zawawi berkata dalam syairnya:
sungguh diingkari suatu kaum yang bertaqlid
dan tanpa dasar tauhid yang tidak dijelaskan
Ada yang mengatakan itu sudah cukup, dan sebagian orang menegaskannya dan ada yang mengatakan orang yang memiliki pemahaman, tidak berdosa, dan tidak terlarang
Dan dikatakan jika ia mengikuti Al-Qur'an maka itu sah baginya
Pengikut kebenaran adalah orang yang memiliki hak, tanpa permainan atau senda gurau.
Mutarjim : Fina Nuril Masrurin
Contact Person : 085850238244
Email : finanurilmz21@gmail.com
DAFTAR PUSTAKA
al-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.
Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid.
Kementrian agama republik indonesia “Al-Qur’an kemenag” layanan kemenag (2022):2
Posting Komentar untuk "QOIDAH 42: TAQLID(MENIRU), IQTIDA’(MENGIKUTI), TABASSUR(MERENUNG), IJTIHAD(BERUSAHA), MADZHAB(BERMADZHAB)"