![]() |
Sumber Meta Ai |
قاعدة: (٥)
التَّصَوُّفُ أَحَدُ أَجْزَاءِ الدِّينِ
Tasawuf merupakan salah satu bagian dari agama
إِسْنَادُ الشَّيْءِ لِأَصْلِهِ، وَالْقِيَامُ فِيهِ بِدَلِيلِهِ الْخَاصِّ بِهِ يَدْفَعُ قَوْلَ الْمُنْكِرِ بِحَقِيقَتِهِ [لِأَنَّ ظُهُورَ الْحَقِّ فِي الْحَقِيقَةِ يَمْنَعُ مِنْ ثُبُوتِ مُعَارَضَتِهَا] (1). فَأَصْلُ(2) التَّصَوُّفِ مَقَامُ الْإِحْسَانِ الَّذِي فَسَّرَهُ رَسُولُ اللّهِ ﷺ: «بِأَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»(3) لِأَنَّ مَعَانِيَ صِدْقِ التَّوَجُّهِ لِهَذَا الْأَصْلِ رَاجِعَةٌ، وَعَلَيْهِ دَائِرَةٌ، إِذْ لَفْظُهُ دَالٌّ عَلَى طَلَبِ الْمُرَاقَبَةِ الْمَلْزُومَةِ بِهِ. فَكَانَ الْحَضُّ عَلَيْهَا حَضًا عَلَى عَيْنِهِ، كَمَا دَارَ الْفِقْهُ عَلَى مَقَامِ الْإِسْلَامِ وَالْأُصُولُ عَلَى مَقَامِ الْإِيمَانِ.
فَالتَّصَوُّفُ أَحَدُ أَجْزَاءِ الدِّينِ الَّذِي عَلَّمَهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ جِبْرِيلُ(4) لِيُعَلِّمَهُ الصَّحَابَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ(5) فَافْهَمْ.
(1)ما بين المعقو فتين سقط من : أ. الزيادة من : ب .
(2) في نسخ الشيخ محمد إدريس طيب [[وأصل]].
(3)انظر الحديث بكامله في صحيح البخاري من رواية أبي هريرة كتاب الإيمان (٣٧) باب سؤال جبريل النبي ﷺ ... حديث (٥٠) ومسلم في
صحيحه من كتاب الإيمان باب بيان الإيمان والإسلام والإحسان حديث (٨).
(4) سقط من ب
(5) سقط من ب .
Menyandarkan sesuatu kebenaran pada asalnya dan berpegang pada bukti khusus yang menyertainya, itu dapat menolak argumen seseorang dengan realitasnya, (karena menyebutkan dalam realitasnya dapat mencegah kemungkinan adanya argumen yang bertentangan atau penolakan terhadapnya). Asal dari tasawuf adalah Maqam al-Ihsan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Namun, jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu." Karena makna Shidq al-Tawajjuh mengacu pada asal ini (Ihsan), maka hal ini berkaitan erat dengannya. Karena lafadz ini menunjukkan atas tuntutan muraqabah yang wajib baginya. Oleh karena itu, perhatian atas muraqabah merupakan perhatian atas sumbernya (tasawuf) sebagaimana ilmu fiqih berputar pada Maqam al-Islam dan ushul pada Maqam al-Iman.
(Dari sini dapat disimpulkan) bahwa tasawuf merupakan salah satu bagian dari agama yang diajarkan oleh malaikat Jibril kepada Rasulullah Saw untuk diajarkan kepada para sahabat Ra. Maka pahamilah.
شرح قواعد التصوف للشيخ إدريس طيب
بعد ما بين في القاعدة السابقة ارتباط التصوف بالفقه، وأنه لا أشرف من متعلّق علم التصوف؛ لأنه يقوم على مبدإ خشية اللّه تعالى التي هي نتيجة التصوف؛ انتقل في هذه القاعدة ليؤصل لهذا المفهوم؛ حيث إن معاني صدق التوجه آيلة إلى مقام الإحسان ودائرة عليه؛ إذ لفظه دال على طلب المراقبة الملزومة به؛ خلافا للمتحذلقين المنكرين لهذا الترابط :
إِما لجهلهم وبعدهم عن إدراك حقيقة وماهية التصوف، واكتفائهم بظاهر أحكام الشريعة؛ حيث رأوا فيها الغنية عما سواها من علوم الحقيقة.
وإما لكثرة المدعين فيه بلا حقيقة، وكثرة المتشيخين فيه مع جهلهم بالطريقة.
Setelah Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan kaedah sebelumnya yang membahas tentang keterkaitan antara tasawuf dengan ilmu fiqih, bahwa tidak ada yang lebih mulia dari objek ilmu tasawuf karena ilmu ini menjadi dasar atas prinsip-prinsip perasaan takut kepada Allah Swt yang mana rasa takut tersebut merupakan intisari dari tasawuf; beliau beralih dalam kaedah ini untuk menyampaikan konsep tersebut, bahwa makna “Shidq al-Tawajjuh(6)” mengarah pada “Maqam al-Ihsan” dan berputar di sekitarnya, karena frasa tersebut menunjukkan tuntutan muraqabah yang diwajibkan dengannya; berbeda dengan mereka yang meremehkan dan menyangkal keterkaitan ini:
Adakalanya karena ketidaktahuan mereka dan jauhnya mereka dari pemahaman tentang hakikat dan substansi tasawuf, serta cukupnya dengan aspek lahiriah hukum syariah saja; di mana mereka melihat di dalamnya kecukupan tanpa ilmu hakikat lainnya.
Atau karena banyaknya orang yang mengaku-ngaku tasawuf tanpa hakikat, dan banyaknya orang yang berpura-pura menjadi syekh dalam tasawuf tanpa memahami jalan thariqah.
(6) Dalam Ruh al-Bayan (2/442), dijelaskan bahwa “para pecinta sejati, yang terlepas dari godaan dunia, datang menghadap kepada Allah dengan niat yang tulus. Mereka memfokuskan hati hanya untuk mencapai kedekatan dengan-Nya tanpa berharap apapun dari selain Allah. Hal ini dikenal sebagai Shidq al-Tawajjuh, yakni ketulusan dalam menghadapkan hati hanya kepada Allah. Tanda-tanda keikhlasan ini adalah meninggalkan hal-hal duniawi serta mengamalkan ibadah dan ketaatan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah”.
وإن كان الشيخ أحمد زروق يرى بأن الصنف الأول أسلم من الصنف الثاني؛ حيث يقول: "ولعمري إن المنكر أسلم لاحتياطه، والواقع بلا حقيقة على خطر لاختياطه؛ بخلاف الآخذ بحق والتارك به؛ فإن كلا منهما على صواب فيما هو به؛ إذ لا يجوز أن يقفو غير ما علمه، ولا يتقدم لشيء سوى ما فهمه؛ فالواجب إذن التبصر في الدين، واتباع الأئمة المهتدين، والأخذ بما بان رشده وظهر، والتوقف عما اشتبه واستتر(7).''
بعد ذلك انتقل في هذه القاعدة ليبين الأساس للتصوف وهو "مقام الإحسان" الذي فسره عليه السلام بقوله: "أن تعبد اللّه... إلخ)؛ وذلك لأن صدق التوجه المتكلم عنه في القاعدة السابقة – والذي يقتضي المراقبة الدائمة – راجع إلى هذا الأصل.
(7) رسالة في الطريق والشيخ والمريد.
Meskipun Syekh Ahmad Zarruq memandang bahwa golongan pertama lebih selamat daripada golongan kedua; beliau berkata: "Sungguh, orang yang mengingkari lebih selamat karena kehati-hatiannya, sedangkan yang terjun tanpa hakikat berada dalam bahaya karena kecerobohannya, berbeda dengan orang yang mengambil dengan benar dan yang meninggalkannya dengan benar; keduanya berada di jalur yang benar dalam apa yang mereka lakukan; karena tidak diperbolehkan mengikuti sesuatu yang tidak diketahui, dan tidak pula mendahulukan sesuatu selain yang dipahami; maka kewajiban itu adalah memahami agama dengan baik, mengikuti para imam yang mendapatkan petunjuk, mengambil apa yang jelas kebenarannya, dan berhenti pada apa yang masih samar dan tersembunyi.”
Setelah itu, Syekh Ahmad Zarruq berpindah dalam kaedah ini untuk menjelaskan dasar tasawuf, yaitu "Maqam al-Ihsan" yang telah dijelaskan oleh Nabi muhammad Saw dengan perkataan: "Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya…dst"; karena Shidq al-Tawajjuh yang dibicarakan dalam kaedah sebelumnya yang mengharuskan muraqabah secara terus-menerus adalah kembali pada dasar ini.
هذا ولقد أنكر الكثيرون كلمة "التصوف" باعتبارها محدثة لم تستعمل في عهد الصحابة والتابعين؛ إلا أن هذا القول مردود؛ لأن معظم الاصطلاحات العلمية أحدثت بعد الصحابة والتابعين، وكانت محل قبول دون منازع؛ وإن كان مصطلح التصوف قد عرف في عهد التابعين.
فقد قال الحسن البصري: "رأيت صوفيا في الطواف؛ فأعطيته شيئا فلم يأخذه، وقال: معي أربعة دوانيق؛ فيكفيني ما معي".
كما روي عن سفيان الثوري أنه قال: "لولا أبو هاشم الصوفي ما عرفت دقيق الرياء".
أما إذا أردنا إسناد التصوف إلى أصله لدحض قول المنكر؛ فلقد: "قسم الشارع صلوات اللّه وسلامه عليه الدين إلى ثلاثة : إسلام، وإيمان، وإحسان.
Dengan ini banyak orang yang mengingkari kata "tasawuf" dengan alasan bahwa kata ini adalah (bid'ah) yang tidak digunakan pada zaman sahabat dan tabi'in; namun pendapat ini tertolak, karena sebagian besar istilah ilmiah muncul setelah zaman sahabat dan tabi'in, dan istilah-istilah tersebut diterima tanpa diperdebatkan. Meski demikian, istilah tasawuf telah dikenal pada zaman tabi'in.
Al-Hasan Al-Bashri berkata: "Saya melihat seorang sufi sedang thawaf , kemudian saya memberinya sesuatu, tetapi dia tidak mau menerimanya, dan dia berkata: Aku memiliki empat dirham; apa yang aku miliki sudah cukup bagiku."
Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri bahwa dia berkata: "Seandainya bukan karena Abu Hasyim As-Sufi, maka aku tidak akan mengetahui detail-detail riya."
Adapun jika kita ingin mengaitkan tasawuf dengan asal-usulnya untuk menolak pendapat orang yang mengingkarinya, maka: "Nabi Muhammad Saw telah membagi agama menjadi tiga bagian: Islam, iman, dan ihsan."
ثم فسر الإسلام بعمل الجوارح، والإيمان باعتقادات القلوب، والإحسان فعلات القلوب، واصطلح العلماء للكلام في أعمال الأول بالفقه، والثاني بالأصول (أي: العقيدة)، والثالث بالتصوف؛ وهو أجلهما؛ كما أنهما له كالجسد لا إكمال لهما إلا به، كما لا ظهور له بدونهما؛ فهما شرطان في صحته، كما أنه شرط في كمالهما؛ والثاني شرط صحة الأول كما أن الأول شرط في صحة الثاني؛ والمقدم على المقدم مقدم؛ فهو أهم ما يعتنى به؛ لتوقف الكل عليه"(8)
وإذا كان مصطلح "التصوف" من الكلمات المستحدثة في الملة كباقي مصطلحات العلوم الأخرى؛ فإننا نجد أصلها في عهد الرسول صلى اللّه عليه وسلم، والصحابة والتابعين تعود إلى العكوف على العبادة والانقطاع إلى اللّه تعالى، والإعراض عن زخرف الحياة؛ وهو أمر معهود ومرغب فيه وقتها.
عموما فإن التصوف بمفهوم الزهد والورع والتقوى، ومراقبة اللّه في السر والعلن، وفي الاعتقاد والقول والفعل أحد أركان الدين الإسلامي؛ وهو مقام الإحسان الذي علمه جبريل عليه السلام وعلّمه الرسول صلى اللّه عليه وسلم لصحابته الكرام.
(8) اغتنام الفوائد
Kemudian Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan “Islam” dengan amal perbuatan badan, “Iman” dengan keyakinan hati, dan “Ihsan” dengan perbuatan hati. Para lama menggunakan istilah untuk pembahasan tentang amal yang pertama (Islam) dengan fiqih, yang kedua (Iman) dengan ushul (Aqidah), dan yang ketiga (Ihsan) dengan tasawuf, tasawuf merupakan yang paling mulia di antara keduanya; sebagaimana fiqih dan ushul baginya seperti jasad yang tidak sempurna kecuali dengan tasawuf, sebagaimana tasawuf tidak akan tampak tanpa keduanya; maka keduanya adalah syarat sahnya tasawuf, sebagaimana tasawuf adalah syarat kesempurnaan keduanya; dan yang kedua adalah syarat sahnya yang pertama sebagaimana yang pertama adalah syarat sahnya yang kedua; dan yang didahului atas yang didahulukan adalah yang lebih utama; maka itu adalah hal yang paling penting untuk diperhatikan karena semuanya bergantung padanya.
Dan jika istilah "tasawuf" adalah istilah yang baru muncul dalam agama seperti istilah-istilah ilmu lainnya; maka kita akan menemukan asalnya pada zaman Rasulullah, sahabat, dan tabi'in yang kembali kepada tekun dalam ibadah, berhubungan dengan Allah swt, dan berpaling dari perhiasan dunia; dan itu adalah hal yang dikenal dan dianjurkan pada masa itu.
Secara umum, tasawuf dalam pengertian meliputi; zuhud, wara', takwa, dan muraqabah kepada Allah baik dalam
sembunyi-sembunyi (sirr) maupun terang-terangan (ilan)(9), dalam keyakinan, perkataan, dan perbuatan adalah salah satu rukun agama Islam; dan itu adalah Maqam Al-ihsan yang diajarkan oleh Jibril dan diajarkan oleh Rasulullah kepada sahabat-sahabatnya yang mulia.
(9) Ahmad bin Abdul Fattah Zawawi, Syamail ar-Rasul shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam, jil. 1 (Alexandria: Dar al-Qimmah, tanpa tahun), hlm. 420. Dalam karyanya, Zawawi menjelaskan bahwa "sirr" (rahasia) dan "‘ilan" (terang-terangan) mencerminkan sikap ridha dan kepasrahan terhadap qadha dan qadar Allah, serta komitmen dalam mengikuti Al-Qur'an dan sunnah. Jika seorang hamba lalai atau berbuat dosa, ia segera bertobat dengan menyadari besarnya dosa karena kesadarannya akan kebesaran Allah.
قال الهروي في منازل السائرين: "هذا الحديث – حديث الإسلام والإيمان والإحسان – إشارة جامعة لمذهب هذه الطائفة"(10).
وقال السيوطي شارحا كلام الهروي: "لأن أصل هذه الطريقة الخاصة كمال المعرفة، ودوام المراقبة للحق سبحانه في الحركات والسكنات؛ بل في الأنفاس واللحظات حتى يستولي سلطان الحق على القلوب؛ فيضمحل ما تعلقت به أو سكنت إليه من الأحوال والخطوب"(11).
ويستفاد من كلام السّيوطيّ أنّ الإحسان يشتمل على مقامين:
المراقبة: ومنها يبدأ سلوك الطريق ثم الترقي فيه؛ فدوامها يورث المشاهدة القلبية.
المشاهدة القلبية: وقد بدأ الحديث بها لسموها؛ ولأنها غاية الغايات.
(11) تأييد الحقيقة العلية.
Imam al-Harawi berkata dalam kitabnya "Manazil al-Sairin": "Hadis ini - hadis tentang Islam, iman, dan ihsan - merupakan petunjuk yang komprehensif bagi mazhab golongan ini."
Imam as-Suyuthi, menjelaskan kata-kata Imam al-Harawi, berkata: "Karena asal dari thariqah adalah kesempurnaan makrifat, dan muraqabah kepada Allah Swt Yang Maha Esa dalam setiap gerakan dan diam; bahkan dalam setiap hembusan nafas dan pandangan, hingga kekuasaan Allah memenuhi hati sepenuhnya, menghilangkan semua keterikatan hati kepada selain-Nya, baik dalam keadaan maupun peristiwa."
Dari kata-kata As-Suyuthi dapat diambil kesimpulan bahwa ihsan mencakup dua maqam (tingkatan spiritual):
Muraqabah: Dari sini, perjalanan spiritual dimulai, kemudian taraqqi(12), Konsistensi dalam al-muraqabah menghasilkan musyahadah qalbiyah.
Musyahadah al-Qalbiyah: Pembahasan disini dimulai karena ketinggiannya; oleh karenanya ia adalah tujuan dari segala tujuan.
(12) Manhaj Al-Suluk fi Syarh Tuhfat Al-Muluk karya Badruddin Al-'Aini menjelaskan bahwa taraqqi (الترقي) berarti "pendakian" atau "kemajuan yang bertahap," yaitu proses pencapaian dari tingkatan yang lebih rendah menuju tingkatan yang lebih tinggi secara perlahan dan bertahap. Beliau menulis:
"ومعنى الترقي: هو التصعد والتدرج، وهو الوصول من الأدنى إلى الأعلى على سبيل التدريج"
(Manhaj Al-Suluk fi Syarh Tuhfat Al-Muluk, hlm. 35).
وإذا كان أصل التصوف هو مقام الإحسان؛ فإنه لا مجال لإنكاره أو معارضته؛ ولقد كان الرسول صلى اللّه عليه وسلم يعلم الصحابة العلم الشرعي والعمل به؛ وعلى هذا المنوال سار الصحابة رضوان اللّه عليهم والتابعون من بعدهم حيث كانوا يتعلّمون العلم والعمل معا.
"فلما فشا الإقبال على الدنيا في القرن الثاني وما بعده، وجنح الناس إلى مخالطة الدنيا؛ اختص المقبلون على العبادة بإسم الصوفية"(13).
(13) مقدمة ابن خلدون.
Ketika asal tasawuf adalah Maqam al-Ihsan, maka tidak ada alasan untuk menolak atau menentangnya. Rasulullah Saw mengajarkan para sahabat ilmu syariat dan pengamalannya; dengan cara ini para sahabat dan tabi'in setelah mereka belajar ilmu (kemudian) mengamalkan ilmu secara bersamaan.
- Qaidah 51: Kejadian yang Membingungkan, yang Tidak Jelas, dan yang Sulit Dipahami dalam Teks-teks Syariat
- Qaidah 35: Menilai Cabang Berdasarkan Asal dan Kaidahnya
- Qaidah 34: Orang yang Berbicara tentang Suatu Cabang Ilmu Harus Menghubungkan Cabang-cabangnya dengan Pokok-pokoknya, dan Menyambungkan Pemahaman dengan Sumber-sumbernya
Ketika perhatian pada dunia mulai meluas pada abad kedua Hijriyah dan setelahnya, serta manusia mulai condong pada kehidupan duniawi, mereka yang tetap fokus pada ibadah mulai disebut dengan nama "Sufi".
إلا أنه سرعان ما انفصل العلم عن العمل. حيث أصبح الفقه يركّز اهتمامه على الجانب النظري؛ ويهمل الجانب العملي السلوكي الوظيفي، وأصبح الفقيه لا يعني الزاهد؛ كما أن الزاهد لا يعني العالم؛ وبذلك حدثت فجوة بين العلم والعمل؛ بين النظرية والتطبيق؛ فأصبحت المدارس والمعاهد الدينية تخرج أناسا لهم دراية فقهية تشريعية بغض النظر عن مدى التزامهم بما يعلمون في حياتهم وممارساتهم اليومية. حيث وقعت فجوة عظيمة بين الدين والتدين، وحارب الكثيرون الدين الإسلامي انطلاقا من ممارسات من يزعم الإسلام الذين ابتعدوا عن روح الإسلام وتعاليمه السمحة؛ فجاء التصوف الحقيقي ليعيد الارتباط بين الشريعة والحقيقة، بين النظرية والممارسة، بين العلم والعمل.
Namun, tidak lama kemudian ilmu terpisah dari amal(14). fiqih mulai lebih berfokus pada aspek teoritis dan mengabaikan aspek praktis, perilaku, dan fungsional. Akibatnya, seorang faqih tidak lagi identik dengan seorang zahid; begitu pula seorang zahid tidak identik dengan seorang yang alim. Terjadilah kesenjangan antara ilmu dan amal, antara teori dan praktik. Sekolah dan lembaga pendidikan agama kemudian mulai menghasilkan orang-orang yang memiliki pemahaman hukum fiqih, tanpa mempertimbangkan sejauh mana mereka menerapkan ilmu tersebut dalam kehidupan dan perilaku sehari-hari. Kesenjangan yang besar pun terjadi antara agama dan pengamalan beragama. Banyak orang yang menentang Islam karena perilaku mereka yang mengaku muslim tetapi telah menjauh dari esensi Islam dan ajarannya yang penuh kasih sayang. Maka, tasawuf sejati datang untuk mengembalikan hubungan antara syariat dan hakikat, antara teori dan praktik, antara ilmu dan amal.
(14) "Ilmu dalam Islam adalah cahaya dari Allah yang diperoleh melalui kecintaan kepada-Nya. Para nabi yang tulus telah mencapai kesempurnaan melalui cinta kepada Allah. Akan tetapi, ilmu tanpa amal tidak bermanfaat dalam Islam, dan tidak diterima ilmu dari seorang yang beramal hingga ia mengamalkan apa yang ia ketahui." Dalam kitab Syarh al-Mu'tamad fi Usul al-Fiqh (hal. 14), dijelaskan pentingnya ilmu yang disertai amal. Bahkan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya digambarkan sebagai seseorang yang akan diadzab lebih dulu dibandingkan penyembah berhala, sebagaimana tercantum dalam syair: "Dan seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan diazab sebelum penyembah berhala. Sementara siapa pun yang beramal tanpa ilmu, amalnya tidak akan diterima."
"ونسبة التصوف من الدين كنسبة الروح من الجسد"، كما قال الشيخ زروق لأنه مقام الإحسان الذي فسره رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم بقوله: "أن تعبد اللّه كأنك تراه؛ فإن لم تكن تراه فإنّه يراك". لا معنى له سوى ذلك؛ إذ مداره مراقبة بعد مشاهدة أو مشاهدة بعد مراقبة... ولا وجود له دون أخويه من الفقه والأصول، ولا عبرة بوجودهما دونه(15).
فمقصد التصوف وفائدته إفراد القلب والقالب للّه سبحانه عن طريق:
الإخلاص في العبادة وتربية النفس والسمو والارتقاء بها، وتنمية روح مراقبة النفس ومحاسبتها بغية الوصول إلى معرفة اللّه تعالى عن طريق الكشف ومشاهدة آلائه.
تزكية القلوب والنفوس وتطهيرها من كل ما يتعلق بها من الأسباب والعلائق الدنيوية.
(15) مقدمة الفتوحات الرحمانية في حل ألفاظ الحكم العطائية.
“Hubungan tasawuf dengan agama seperti ruh bagi tubuh”, sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Zaruq, karena tasawuf adalah Maqam al-Ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya: "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu." Tidak ada makna lain selain itu; karena inti tasawuf adalah muraqabah setelah musyahadah atau musyahadah setelah muraqabah. Tasawuf tidak dapat ada tanpa kedua saudaranya, yaitu fiqih dan ushul (aqidah), dan tidak ada artinya keberadaan fiqih dan ushul tanpa tasawuf.
Tujuan tasawuf dan manfaatnya adalah mengarahkan hati dan tubuh hanya kepada Allah SWT melalui:
Keikhlasan dalam beribadah, pendidikan diri, peningkatan spiritual, dan peningkatan diri. Mengembangkan semangat untuk muraqabah dan introspeksi dengan tujuan mencapai ma'rifatullah melalui kasyf dan penyaksian tanda-tanda kebesaran-Nya.
membersihkan hati dan jiwa serta mensucikannya dari segala keterikatan dan hubungan duniawi.
وإذا كان التصوف قد تعرض لهجوم عنيف من طرف بعض الفقهاء - قديما وحديثا - باعتباره بدعة دخيلة على الدين الإسلامي تشجع على نشر الخرافات. أقحمه في هذا الدين من أسلم من البوذيين والكتابيين، ومن على شاكلتهم من أصحاب الملل والنحل المختلفة؛ فإن التصوف في الحقيقة ليس مذهبا؛ بل منهجا وطريقا يسلكه العبد للوصول إلى الله عز وجل. ظهرت بذوره في بداية القرن الثاني الهجري، وانتشر في العالم الإسلامي في القرن الثالث الهجري كنزعات فردية تدعوا إلى الزهد وشدة العبادة؛ فإن جذوره بهذا المعنى ترجع إلى عهد الرسول صلى الله عليه وسلم وعهد الصحابة رضوان الله عليهم والتابعين، وإن اختلفت الأسماء والمصطلحات (الزهد / التزكية / التصوف)؛ إذ لا مشاحة في الأسماء والمصطلحات؛ وفي هذا المجال يقول محمد بن الصديق الغماري (16):
"... وأما من أسس الطريقة؛ فلتعلم أن الطريقة أسسها الوحي السماوي في جملة ما أسس من الدين المحمدي؛ إذ هي بلا شك مقام الإحسان الذي هو أحد أركان الدين الثلاثة التي جعلها النبي صلى الله عليه وسلم بعدما بينها واحدا واحدا دينا بقوله: "فإنه جبريل أتاكم يعلمكم دينكم" في الحديث الصحيح المشهور الذي أخرجه مسلم في صحيحه، وهي: الإسلام، والإيمان، والإحسان؛ فالإسلام طاعة وعبادة، والإيمان نور وعقيدة والإحسان مقام مراقبة ومشاهدة: "أن تعبد الله كأنك تراه؛ فإن لم تكن تراه فإنه يراك ... "(17)؛ فالتصوف هو الجانب الإحساني للدين؛ فهو: ركن من أركان الدين، وجزء متمم لمقامات اليقين" (18).
(16) محمد بن الصديق الغماري: من كبار الفقهاء المحدثين المغاربة. جمع بين الفقه والحديث والتصوف؛ ومما يجدر الإشارة إليه هنا هو أن الطريقة الصديقية بشمال المغرب ذات جذور زروقية شاذلية.
(17) الانتصار للطريق الصوفية.
(18) الإعلام بأن التصوف من شريعة الإسلام للعلامة عبد الله بن الصديق الغمري.
Ketika tasawuf telah mengalami perlawanan hebat dari beberapa fuqaha’(19), baik di masa lalu maupun sekarang, mereka menganggapnya sebagai bid'ah bagi agama Islam yang mendorong penyebaran khurafat. Ini dihadirkan dalam agama ini oleh orang-orang yang masuk Islam dari kalangan Buddha dan ahli kitab, serta orang-orang dari berbagai sekte dan aliran lainnya; maka tasawuf pada hakikatnya bukanlah sebuah mazhab, melainkan sebuah metode dan jalan yang ditempuh oleh hamba untuk mencapai Allah Yang Maha Tinggi. Benih-benihnya muncul pada awal abad kedua Hijriyah, dan menyebar di dunia Islam pada abad ketiga Hijriyah sebagai kecenderungan individu yang menyerukan zuhud dan ibadah yang mendalam; karena akar-akar tasawuf dalam pengertian ini sebenarnya kembali ke masa Nabi Muhammad SAW dan masa para sahabat serta para tabi'in, meskipun istilah dan nama yang digunakan berbeda (zuhud / tazkiyah / tasawuf); karena tidak ada masalah dalam nama dan istilah. Dalam hal ini, Muhammad bin Shiddiq Al-Ghamari berkata:
(19) Termasuk kritik tajam seperti yang diriwayatkan dari Imam Syafi’i:
“لو أن رجلا تصوّف من أول النهار لم يأت عليه الظهر إلا وجدته أحمق” (Seandainya seseorang mulai ber tarekat sejak pagi, niscaya sebelum Dzuhur dia sudah menjadi orang bodoh). Pernyataan ini dikutip dari kitab Manaqib As-syafi’i karya Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi (384-458 H). Kitab ini adalah biografi Imam Syafi’i, yang diterbitkan oleh Dar al-Turats, Kairo, pada edisi pertama tahun 1390 H/1970 M, dengan tahqiq oleh Sayyid Ahmad Saqr. Arah umum dalam tasawuf adalah menjauh dari akal dan rasionalitas. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa untuk mencapai maqam-maqam (kedudukan) dan ahwal yang tinggi, seseorang harus meniadakan akal. Oleh sebab itu, mereka sering menyebutkan kejadian-kejadian tentang para syekh mereka serta menetapkan hal-hal yang ditolak bahkan dianggap dusta oleh akal. Padahal, akal adalah syarat dalam memahami ilmu, yang kedudukannya seperti penglihatan bagi mata. Jika akal terhubung dengan cahaya iman dan Al-Qur'an, ia bagaikan cahaya mata yang bersatu dengan sinar matahari.arah umum dalam tasawuf adalah menjauh dari akal dan rasionalitas. Hal ini karena mereka beranggapan bahwa untuk mencapai maqam-maqam (kedudukan) dan ahwal yang tinggi, seseorang harus meniadakan akal. Oleh sebab itu, mereka sering menyebutkan kejadian-kejadian tentang para syekh mereka serta menetapkan hal-hal yang ditolak bahkan dianggap dusta oleh akal. Padahal, akal adalah syarat dalam memahami ilmu, yang kedudukannya seperti penglihatan bagi mata. Jika akal terhubung dengan cahaya iman dan Al-Qur'an, ia bagaikan cahaya mata yang bersatu dengan sinar matahari.
"... Adapun dasar dari thariqah, ketahuilah bahwa thariqah didasari oleh wahyu ilahi di antara hal-hal yang didirikan dalam agama Nabi Muhammad; karena tidak ada keraguan bahwa tasawuf adalah Maqam al-Ihsan yang merupakan salah satu rukun agama yang tiga yang dijelaskan oleh Nabi SAW satu per satu, melalui sabdanya: "Itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian", sebagaimana diriwayatkan dalam hadits shahih yang terkenal yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Hal-hal yang dimaksud adalah: Islam, Iman, dan Ihsan; di mana Islam adalah ketaatan dan ibadah, iman adalah cahaya dan akidah, dan ihsan adalah muraqabah dan musyahadah: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu …”; sehingga tasawuf adalah bagian dari agama; ia adalah salah satu rukun agama dan bagian yang melengkapi tingkatan-tingkatan keyakinan."
لذا قرر بعض أهل العلم المحققين وجوب سلوك طريق التصوف وجوبا عينيا؛ فما التصوف إلا مقام الإحسان؛ فمن أخل به كان ناقص الإيمان؛ لتفريطه في ركن من أركان الدين. وبناء على ذلك رأى الغزالي بأن التصوف فرض عين؛ إذ لا يخلو أحد من عيب أو مرض من الأمراض النفسية، وقال الشاذلي: "من لم يتغلغل في علمنا هذا مات مصرا على الكبائر وهو لا يشعر(20) .
(20) إيقاظ الهمم في شرح الحكم لابن عجيبة.
Oleh karena itu, sebagian ulama yang mendalam ilmunya menetapkan bahwa menempuh jalan tasawuf adalah suatu kewajiban bagi setiap individu. Sebab, tasawuf tidak lain adalah Maqam al-Ihsan; sehingga orang yang tidak menjalankannya dianggap memiliki iman yang kurang; karena mengabaikan salah satu rukun agama. Berdasarkan hal ini, Al-Ghazali berpendapat bahwa tasawuf adalah fardhu 'ain; karena tidak ada seorangpun yang bebas dari cacat atau penyakit jiwa. Al-Syadzili juga berkata: "Barangsiapa yang tidak mendalami ilmu kami ini, ia akan meninggal dalam keadaan masih melakukan dosa besar tanpa ia sadari."
وقال ابن عاشر :
وَذَاكَ وَاجِبٌ عَلى المُكَلَّفِ ۞ تَحْصِيْلُهُ يَكُوْنُ بِالمَعْرُفِ
والواقع أننا إذا ما عدنا إلى القرآن الكريم؛ فإننا نستطيع أن نستخلص منه أحوال التصوف ومقاماته، ومن ذلك:
التوبة: قال تعالى في سورة النور، الآية:31 :﴿وَتُوبُوٓاْ إِلَى اللّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ٣١﴾.
الإنابة: قال تعالى في سورة الزمر، الآية: 54: ﴿وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ٥٤﴾.
المراقبة: قال تعالى في سورة الأحزاب، الآية: 52: ﴿وَكَانَ اللّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ رَّقِيبًا٥٢﴾.
المحاسبة: قال تعالى في سورة الحشر، الآية: 18: ﴿وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ١٨﴾.
الزهد: قال تعالى في سورة هود، الآية: 86: ﴿بَقِيَّتُ اللّهِ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَۚ﴾.
الذكر: قال الله تعالى في سورة الأحزاب، الآيتان: 41 - 42: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ٤١وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا ٤٢﴾.
المجاهدة: قال تعالى في سورة العنكبوت، الآية: 69: ﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ٦٩﴾.
المحبة: قال تعالى في سورة المائدة، الآية: 54: ﴿فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ﴾.
التوكل: قال تعالى في سورة المائدة، الآية: 23: ﴿وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ٢٣﴾.
الرضا: قال تعالى في سورة المائدة، الآية: 119: ﴿وَرَضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُۚ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ١١٩﴾.
التسليم: قال تعالى في سورة النساء، الآية: 65: ﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا٦٥﴾.
الصبر: قال تعالى في سورة النحل، الآية: 127: ﴿وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللّٰهِۚ﴾.
الإيثار: قال تعالى في سورة الحشر، الآية: 9: ﴿وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌۗ وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ ٩﴾.
الصدق: قال تعالى في سورة يونس، الآية: 2: ﴿وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنَّ لَهُمْ قَدَمَ صِدْقٍ عِنْدَ رَبِّهِمْ ۗ ﴾.
... إلى آخره من الأحوال والمقامات.
Ibnu ‘Asyir berkata:
"Dan hal itu wajib bagi mukallaf ۞ untuk mencapainya (tasawuf) dengan pengetahuan yang benar."
Sebenarnya, jika kita kembali kepada Al-Qur’an, maka kita bisa menyimpulkan dari situ berbagai keadaan dan maqam (tingkatan) dalam tasawuf, seperti:
Taubat: Allah berfirman dalam Surat An-Nur, ayat 31: "Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung."
Inabah: Allah berfirman dalam Surat Az-Zumar, ayat 54: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak akan ditolong."
Muraqabah: Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab, ayat 52: "Allah Maha Mengawasi segala sesuatu."
Muhasabah: Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr, ayat 18: "Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.."
Zuhud: Allah berfirman dalam Surat Hud, ayat 86: "Apa yang tersisa (dari keuntungan yang halal) yang dianugerahkan Allah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang beriman. Aku bukanlah pengawas atas dirimu."
Dzikir: Allah berfirman dalam Surat Al-Ahzab, ayat 41-42: ”Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan dzikir sebanyak-banyaknya.dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang"
Mujahadah: Allah berfirman dalam Surat Al-Ankabut, ayat 69: "Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan."
Mahabbah: Allah berfirman dalam Surat Al-Ma’idah, ayat 54: " maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya."
Tawakal: Allah berfirman dalam Surat Al-Ma’idah, ayat 23: "Bertawakallah hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang mukmin.”
Ridha: Allah berfirman dalam Surat Al-Ma’idah, ayat 119: " Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.”
Taslim: Allah berfirman dalam Surat An-Nisa, ayat 65: "Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya."
Sabar: Allah berfirman dalam Surat An-Nahl, ayat 127: _"Bersabarlah (Nabi Muhammad) dan kesabaranmu itu semata-mata dengan (pertolongan) Allah."
Itsar: Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr, ayat 9: "Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung."
Shidq: Allah berfirman dalam Surat Yunus, ayat 2: "Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka."
Dan seterusnya, dari berbagai keadaan dan maqam dalam perjalanan tasawuf.
"فالتصوف أحد أجزاء الدين الذي علمه جبريل عليه السلام للرسول صلى الله عليه وسلم؛ ليعلمه الصحابة رضي الله عنهم أجمعين". كما يقول ابن الصديق في كتابه المشار إليه سابقا.
ذلك أن حديث جبريل يقسم الدين إلى:
ركن الإسلام: وهو الجانب العملي المتعلق بالعبادات والمعاملات؛ ومحله الأعضاء الجسمانية الظاهرة، وسمي علم الظاهر أو الشريعة؛ وهو من اختصاص الفقهاء.
ركن الإيمان: وهو الجانب الاعتقادي القلبي؛ وأركانه ستة: الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، والقضاء والقدر؛ وقد اختص بدراسته علماء التوحيد، أو علماء الكلام.
ركن الإحسان: وهو الجانب الروحي القلبي؛ وهو أن تعبد الله كأنك تراه؛ فإن لم تكن تراه فإنه يراك، وما ينتج عن ذلك من أحوال سنية وأذواق وجدانية، وعلوم عرفانية؛ وقد اصطلح على تسميته بالحقيقة، واختص ببحثه الصوفية.
"Tasawuf merupakan salah satu bagian dari agama
yang diajarkan oleh Malaikat Jibril As kepada Rasulullah Saw, untuk diajarkan
kepada para sahabatnya," demikian dikatakan oleh Ibnu al-Siddiq dalam
kitabnya yang disebutkan sebelumnya.
Hal ini dikarenakan hadit Jibril membagi agama menjadi:
- Islam: yaitu aspek yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah; tempatnya pada anggota tubuh yang bersifat jasmani, dan disebut sebagai ilmu zahir atau syariat; yang menjadi spesialisasi para fuqaha.
- Iman:
yaitu aspek keyakinan hati; rukun-rukunnya ada enam: iman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta qadha
dan qadar; yang dikhususkan untuk dipelajari oleh para ulama tauhid atau
ahli ilmu kalam.
- Ihsan:
yaitu aspek spiritual hati; yakni “Engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya; jika engkau tidak melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu”, dan sesuatu yang bersumber dari
keadaan-keadaan yang luhur, rasa-rasa batin, serta ilmu-ilmu irfani;
yang dikenal dengan istilah hakikat, dan menjadi spesialisasi para
sufi.
وهناك تكامل بين الأركان الثلاثة: (الإسلام، والإيمان، والإحسان)؛ وللوصول إلى مقام الإحسان لا بد من سلوك الطريق؛ وهي مجاهدة النفس (التحلية، والتخلية)، والتجلي والترقي في مجال الكمال الخلقي والتربوي؛ فالشريعة هي الأساس، والطريقة هي الوسيلة، والحقيقة هي الثمرة؛ وهي متكاملة؛ لذا قال الشيخ أحمد زروق في القاعدة السابقة (قـ ٤): "لا تصوف إلا بفقه إذ لا تعرف أحكام الله الظاهرة إلا منه، ولا فقه إلا بتصوف"، وقال مالك: "من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق"؛ وعليه فلا يصح الإسلام؛ بل لا يوجد إلا بإيمان، ولا يترتب إيمان إلا بإحسان، وكل واحد موصل إلى ما بعده؛ فالتصوف أحد أجزاء الدين؛ وفي ذلك يقول ابن خلدون في مقدمته:
"وعلم التصوف من العلوم الشرعية الحادثة في الملة، وأصله أن طريقة هؤلاء القوم لم تزل عند سلف الأمة وكبارها من الصحاب والتابعين ومن بعدهم طريقة الحق والهداية؛ وأصلها العكوف على العبادة والانقطاع إلى الله تعالى والإعراض عن زخرف الدنيا وزينتها، والزهد فيما يقبل عليه الجمهور من لذة ومال وجاه".
Dari sini saling menyempurnakan antara tiga rukun: (Islam, Iman, dan Ihsan); untuk mencapai derajat Ihsan, seseorang harus menempuh jalan thariqah, yaitu dengan melakukan perjuangan jiwa melalui (Tahliyah dan Takhliyah), serta tajally dan peningkatan dalam kesempurnaan akhlak dan pendidikan. Syariat adalah fondasi, thariqah adalah perantara, dan hakikat adalah buahnya; ketiganya saling menyempurnakan. Oleh karena itu, Syekh Ahmad Zarruq dalam kaedahnya yang ke-4 mengatakan: “Tidak ada tasawuf tanpa fiqih, karena hukum-hukum Allah yang zahir tidak dapat diketahui kecuali darinya; dan tidak ada fiqih tanpa tasawuf.” Imam Malik berkata: “Barang siapa bertasawuf tanpa berfiqih, maka ia menjadi zindiq (sesat), dan barangsiapa berfiqih tanpa bertasawuf, maka ia menjadi fasik.”
Maka tidak sah Islam tanpa Iman, dan tidak ada Iman yang sah tanpa Ihsan, dan masing-masing menghantarkan pada tahap berikutnya; tasawuf adalah salah satu bagian dari agama. Tentang hal ini, Ibn Khaldun dalam kitab Muqaddimah-nya mengatakan:
“Ilmu tasawuf bagian ilmu syar’i yang baru muncul dalam agama, dan asalnya bahwa cara para sufi ini telah ada sejak masa awal umat dan tokoh-tokohnya dari kalangan sahabat, tabiin, dan orang-orang setelah mereka, yang menempuh jalan kebenaran dan petunjuk. Asal dari tasawuf adalah berfokus pada ibadah, memutuskan hubungan dengan dunia, meninggalkan perhiasannya, serta bersikap zuhud terhadap kesenangan, harta, dan kedudukan yang banyak dikejar oleh manusia.”
"ولما كان طريق التصوف محبوبا بالطبع، محمودا بالعقل السليم والشرع، بعيدا عن إدراك الكافة لدقته، مفقود الأصول المثبتة لغربته مجهول الأصل والفرع في حقيقته كثر فيه المدعون بلا حقيقة، وتشيخ فيه الجاهلون بالطريقة، وأنكره المتحذلقون جملة وتفصيلا، ولم ينظر فيه المحبون وجها ولا دليلا؛ فهلك فيه قوم بالرد والإنكار، وهلك آخرون بالاتباع والاغترار. ولعمري إن المنكر أسلم لاحتباطه، والواقع بلا حقيقة على خطر لاختباطه؛ بخلاف الآخذ بحق والتارك به؛ فإن كلا منهما على صواب فيما هو به؛ إذ لا يجوز أن يقفو إلا مع علمه، وأن لا يتقدم لشيء سوى ما فهمه... واعلموا رحمكم الله أن التصوف له مقدمة، وحقيقة، ونتيجة؛ فمقدمته خشية الله، وحقيقته صدق التوجه إلى الله، ونتيجته الفناء في الله"(21).
وعليه فإذا كان الهدف من التصوف هو مراقبة الله تعالى في السر والعلن؛ فإن التصوف ليس اختيارا ذاتيا كما عند البعض؛ بل هو فرض على كل مكلف؛ وإلى ذلك ذهب الغزالي والشاذلي؛ كما تمت الإشارة إليه سابقا.
(21) مقدمة في التصوف والشيخ والمريد للشيخ أحمد زروق.
"Karena jalan tasawuf secara tabiat disukai, dipuji oleh akal sehat dan syariat, tetapi sulit dipahami oleh banyak orang karena kedalamannya, minimnya rujukan yang menetapkannya karena kelangkaannya, tidak diketahui asal dan cabangnya dalam hakikatnya, maka banyak orang yang mengakuinya tanpa hakikat, banyak pula orang bodoh tentang thariqah yang mengaku sebagai pemimpin, dan sebagian lainnya menolaknya secara total baik secara garis besar maupun rinci, sehingga para pecinta pun tidak bisa menemukan alasan dan bukti untuk membelanya. Akibatnya, ada yang tersesat karena penolakan dan pengingkarannya, dan ada yang sesat karena mengikuti tanpa pemahaman. Sungguh, penolakan itu lebih selamat karena kehati-hatiannya, sedangkan yang masuk tanpa hakikat berada dalam bahaya karena kecerobohannya; berbeda halnya dengan yang mengikuti kebenaran dan yang meninggalkannya dengan penuh keyakinan, karena keduanya berada pada kebenaran dalam posisinya; seseorang tidak seharusnya mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan dan tidak melangkah kecuali dengan pemahaman…
Ketahuilah, semoga Allah merahmati kalian, bahwa tasawuf memiliki pendahuluan, hakikat, dan hasil. Pendahuluannya adalah rasa takut kepada Allah, hakikatnya adalah kejujuran dalam menuju Allah, dan hasilnya adalah ‘fana’(22).
Maka jika tujuan tasawuf adalah muraqabah terhadap Allah dalam keadaan tersembunyi (sirr) dan nyata (ilan), tasawuf bukanlah pilihan pribadi seperti yang disangka sebagian orang, tetapi merupakan kewajiban bagi setiap mukallaf (yang dibebani kewajiban agama); pendapat ini dipegang oleh al-Ghazali dan al-Syadzili, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
(22) Fana, sebagaimana dijelaskan dalam at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf (hlm. 126), adalah keadaan di mana seseorang kehilangan kesadaran terhadap sifat-sifat kemanusiaannya karena keterpesonaan oleh sifat-sifat ilahiah. Dalam konteks ini, fana berarti lenyapnya sifat-sifat manusia seperti kebodohan dan kezaliman.
Mutarjim : Achmad Riefqy An-nabawy
Email : albialbirruni@gmail.com
Contact Person : 085608925573
DAFTAR PUSTAKA
al-Burnusiy, Abi al-‘Abbas Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin ‘Isa Zarrouq al-Fasi, (Wafat 899 H)., Qawaid al-Tasawuf, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, Lebanon., 2019 M / 1440 H., (Tahqiq: Abdulmajid Khayali, 2002)., cet. kelima.
Tayeb, Mohammed Idris, (Lahir 1369 H / 1950 M)., Syarah Qawaid al-Tasawuf, Books Publisher, Beirut, Lebanon, 2022., cet. pertama, sebanyak 2 jilid.
kementrian agama republik indonesia “Al-Qur’an kemenag” layanan kemenag (2022):2
Al-Khalwati, Ismail Haqqi (W.1127 H). Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut: Dar al-Fikr, cetakan pertama, 1412 H - 1992 M.
Al-Juwayni, Abu al-Ma'ali Abd al-Malik bin Abdullah. Syarh al-Mu'tamad fi Usul al-Fiqh. Tahqiq: Muhammad Mahmud al-Hijazi. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, cetakan pertama, 1400 H - 1980 M.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain. Manaqib Al-Syafi'i. Ed. Sayyid Ahmad Saqr. Kairo: Dar al-Turats, Cetakan Pertama, 1390 H/1970 M.
al-Kalabadzi, Abu Bakr Muhammad bin Ishaq. at-Ta‘arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf. Kairo: Maktabah al-Khanji, cet. ke-2, 1994.
Zawawi, Ahmad bin Abdul Fattah. Syamail ar-Rasul shallallahu 'alaihi wa alihi wasallam. Alexandria: Dar al-Qimmah, tanpa tahun terbit, 2 jilid. Edisi daring di Maktabah Syamilah (tanggal unggah: 8 Dzulhijjah 1431 H)
Posting Komentar untuk "Qaidah 5: Tasawuf Merupakan Salah Satu Bagian dari Agama"