SYARAT-SYARAT TAQLID
Taqlid tidak serta-merta dilakukan begitu saja,
imam Ibnu Hajar dan ulama lain memberikan ada 6 syarat kebolehan taqlid :
No |
SYARAT |
KETERANGAN |
1. |
Madzhab yang diikuti harus mudawwan
(terbukukan) |
Keterangan Madzhab yang terbukukan dan tidak, bisa
dibaca dalam bab “madzhab-madzhab yang diakui” |
2. |
Muqallid (orang yang taqlid) harus mengetahui
syarat-syarat dan ketentuan madzhab yang diikuti |
Ketentuan ini sesuai dengan pendapat
yang melarang talfiq. |
3. |
Pendapat yang diikuti tidak bertentangan
dengan nash al-qur’an, al-hadits, al-ijma’ (kesepakatan ulama’) dan
al-qiyas al-jali. |
Dengan demikian, tidak diperbolehkan mengikuti
madzhab yang bertentangan dengan ketentuan tersebut, sebagaimana madzhab Daud
al-Zhahiri. |
4. |
Tidak memilih pendapat yang ringan saja
(tatabbu’ al-rukhosh). |
·
Menurut
al-Ramli, syarat tersebut bukan merupakan syarat sah taqlid, melainkan
hanya sebatas syarat agar terhindar dari dosa. ·
Menurut
pendapat yang dikutip dari imam al-Subhki, diperbolehkan tatabbu’
al-rukhosh jika ada hajat atau dlarurot . ·
Menurut
Muhamad Sa’id bin Abd al-Rahman al-Bani, pendapat yang melarang tatabbu’
al-rukhosh diperuntukkan untuk orang-orang yang sudah memiliki
konsistensi agama yang cukup kuat. Sedangkan untuk pendapat yang
memperbolehkannya lebih tepat diperuntukkan bagi khalayak awam yang belum memiliki
konsistensi yang cukup kuat dalam menjalankan tuntutan agama. |
5. |
Harus konsisten dengan pendapat yang diikuti
dalam satu permasalahan. Maksudnya, muqallid tidak boleh mengambil
satu pendapat dalam permasalahan tertentu, kemudian beralih mengikuti
pendapat lain dalam permasalahan yang sama. |
Ulama memberikan contoh sebagaimana ketika muqallid
mengambil hak syuf'ah al-jiwâr terhadap sebidang tanah yang dijual
tetangganya tanpa mendapat izin darinya, dengan mengikuti pendapat Imam Abu
Hanifah. Lalu, setelah Ia memilikinya, Ia menjualnya kembali tanpa
persetujuan tetangganya. Selanjutnya, pada saat tetangganya menuntut hak syuf'ah
al-jiwár terhadap orang tersebut, ia berusaha menolaknya dengan dalih
mengikuti pendapat Imam Syafi'i yang tidak memberlakukan hak syuf 'ah
bagi tetangga (syuf'ah al-jiwár). Tindakan tersebut tidak
diperbolehkan, karena dalam satu permasalahan muqallid tidak konsisten
dengan pendapat yang diikuti. |
6. |
Tidak melakukan talfiq (mencampur
adukkan satu pendapat dengan lainnya, sehingga menjadi hukum yang tidak
dianggap sah oleh kedua pendapat yang diikuti). |
Sebagaimana contoh ketika muqallid
berwudlu tanpa menggosok anggota wudlunya dengan mengikuti mazhab Syafi'i,
lalu ia memegang wanita non mahram dengan dalih mengikuti mazhab
Maliki yang tidak menganggap bahwa memegang wanita dapat membatalkan wudlu.
Hal tersebut tidak diperbolehkan, karena kedua imam yang diikuti sepakat
tidak mengesahkan wudlunya. Al-Syafi'i melihat dari sisi memegang lawan
jenisnya. Sementara al-Maliki melihat dari sisi tidak menggosok anggota
wudlunya. |
Catatan:
·
Menurut
mayoritas mazhab Syafi'i, larangan talfiq di atas mencakup dalam
berbagai persoalan agama, seperti ubudiyyah, mu'âmalah, munâkahah dan
lain sebagainya. Sementara menurut mazhab lain bisa dibaca di uraian khusus
tentang talfiq.
وَشُرُوطُ التَّقْلِيدِ سِتَّةٌ الأَوَّلُ
أَنْ يَكُونَ مَذْهَبُ الْمُقَلِّدِ بِهِ مُدَوَّناً لِتَتَمَكَّنَ فِيهِ عَوَاقِبُ
الْإِنْظَارِ وَيَتَحَصَّلُ لَهُ الْعِلْمُ الْيَقِيْنِيِّ بِكَوْنِ الْمَسْأَلَةِ
الْمُقَلّدِ بِهِ مِنْ هَذِهِ.
الثَّانِي حِفْظُ الْمُقَلِّدِ
بِهِ شُرُوطَهُ فِي تِلْكَ الْمَسْأَلةِ.
الثَالِثُ أَنْ لَا يَكُونَ التَّقْلِيْدُ
فِيْمَا يَنْقُضُ فِيهِ قَضَاءُ الْقَاضِي بِأَنْ لَا يَكُونَ خِلَافُ نَصِّ الْكِتَابِ
أَوِ السُّنَّةِ أَوِ الْإِجْمَاعِ أَوِ الْقِيَاسِ الْجَلِي.
الرَابِعُ أَنْ لَايَتَّبِعَ الرُّخْصَ بِأَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ
مَذْهَبٍ بِالْأَسْهَلِ لِتَنَحُّلِ رُتْبَةِ التَّكْلِيفِ مِنْ عُنُقِهِ، قَالَ الشَّيْخُ
ابنُ حَجَرٍ وَمِنْ ثَمَّ كَانَ الْأَوْجَهُ أَنَّهُ يَفْسَقُ بِهِ. وَقَالَ الشَّيْخُ
مُحَمَّدُ الرَمْلِي الأَوْجَهُ أَنْ لَايَفْسُقَ وَإِنْ أَثِمَ بِهِ اهـ. وَهَذَا
لَيْسَ شَرْطًا لِصِحَّةِ التَّقْلِيدِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْمُتَأَخِّرُونَ بَلْ
هُوَ شَرْطٌ لِدَرْءِ الْإثْمِ كَالنَّهِي عَنِ الصَّلَاةِ فِي الْأَرْضِ الْمَغْصُوبَةِ.
الخَامِسُ أَنْ لَايَعْمَلَ بِقَوْلٍ فِي
مَسْأَلَةٍ ثُمَّ بِضَدِّهِ فِي عَيْنِهَا كَأَنْ أَخَدَ شُفْعَةَ الجِوَارِ تَقْلِيدًا
لِأَبِي حَنِيْفَةَ ثُمَّ بَاعَهَا ثُمَّ اشْتَرَاهَا فَاسْتَحَقَّ وَاحِدٌ مِثْلَهُ
بِشُفْعَةِ الجِوَارِ فَأَرَادَ أَنْ يُقَلِّدَ الشَّافِعِي لِيَدْفَعَهَا فَإِنَّهُ
لَا يَجُوزُ لِأَنَّ كُلاًّ مِنَ الْإِمَامَيْنِ لَا يَقُولُ بِهِ حِينَئِذٍ وَفِيهِ
نَظْرٌ لِأَنَّهُ مَبْنِيٌ عَلَى امْتِنَاعِ التَّقْلِيدِ بَعْدَ الْعَمَلِ وَالْأَصَحُّ
جَوَازُهُ، فَمَا نَقَلَ عَنِ الْاَمُدِي وَابنِ الْحَاجِبِ مِنْ مَنْعِ التَّقْلِيْدِ
بَعْدَ العَمَلِ مَحْمُولٌ عَلَى مَا إِذَا بَقِيَ مِنْ آثَارِ الْأَوَّلِ مَا يَلْزَمُ
عَلَيهِ مَعَ الثَّانِي تُرَكَّبُ حَقِيْقَةٌ وَاحِدَةٌ مُرَكَّبَةً لَا يَقُوْلُ كُلٌّ
مِنَ الْإِمَامَيْنِ بِهَا.
السَّادِسُ أَنْ لَايُلَفِّقَ بَيْنَ قَولَيْنِ
تَتَوَلَّدُ مِنْهُمَا حَقِيْقَةٌ وَاحِدَةٌ مُرَكَّبَةٌ لَا يَقُوْلُ كُلٌّ مِنَ الْإِمَامَيْنِ
بِهَا كَتَقْلِيْدِ الشَّافِعِي فِي مَسْحِ بَعْضِ الرَّأْسِ وَمَالِكٍ فِي طَهَارَةِ
الْكَلْبِ فِي صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا قَالَهُ الشَّيْخُ ابْنُ حَجَرٍ. وَقَالَ ابْنُ
زِيَادٍ فِي فَتَاوِيْهِ نَاقِلًا عَنِ الْبُلْقِيْنِي إِنَّ التَّرْكِيْبَ الْقَادِحَ
فِي التَّقْلِيْدِ إِنَّمَا يُؤْخَذُ إِذَا كَانَ فيَ قَضِيَّةٍ وَاحِدَةٍ كَمَا إِذَا
تَوَضَّأَ فَقَلَّدَ أَبَا حَنَيْفَةَ فِي مَسِّ الْفَرْجِ وَالشَّافِعِي فِي الْفَصْدِ
فَصَلَاتُهُ حِيْنَئِذٍ بَاطِلَةٌ لِاتِّفَاقِ الْإِمِامَيْنِ عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ،
أَمَّا إِذَا كَانَ التَّرْكِيْبُ مِنْ حَيْثُ الْقَضِيَتَيْنِ لِطَهَارَةِ الْحَدَثِ
وَطَهَارَةِ الْخُبُثِ فَالَّذِي يَظْهُرُ أَنَّ ذٰلِكَ غَيرَ قَادِحٍ لِأَنَّ الْإِمِامَيْنِ
لَمْ يَتَّفَقَا عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ، لَا يُقَالُ اِتَّفَقَا عَلَى بُطْلَانِ
الصَّلاَةِ، لِأنَّا نَقُولُ إِنَّمَا نَشَأَ مِنْ تَرْكِيْبِ الْقَضِيَتَيْنِ وَهَذَا
غَيْرَ قَادِحٍ كَمَا فَهِمْنَاهُ مِنْ كَلَامِ الْأَصْحَابِ، وَقَدْ صَرَّحَ بِهِ
الْبُلْقِيْنِي فِي فَتَاوِيْهِ اهـ. (الفوائد
المكية: ص 160-162)
Syarat-syarat taqlid ada
enam, yang pertama adalah mazhab yang diikuti harus terbukukan agar dapat
memahami konsekuensi tujuan
pendapat yang diikuti dan untuk mendapatkan pengetahuan
pasti karena perkara yang diikuti sudah termasuk dalam kategori tersebut.
Syarat taqlid yang kedua
adalah memahami syarat-syarat perkara yang diikuti.
Syarat ketiga adalah
taqlid tidak boleh dalam hal yang bertentangan dengan hukum yang telah
ditetapkan oleh hakim
agar tidak bertentangan dengan nash
al-Quran, sunnah, ijma' atau qiyas.
"Syarat taqlid yang
keempat adalah tidak mengikuti hukum yang ringan-ringan saja dengan memilih
yang paling mudah dari setiap mazhab untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.
Ibnu Hajar berkata bahwa hal ini dapat menyebabkan seseorang dianggap fasiq.
Namun, menurut Syekh Muhammad al-Ramli, tidak akan menyebabkan seseorang menjadi
fasiq meskipun dia berdosa karena hal ini. Namun, hal ini bukanlah syarat untuk
keabsahan taqlid seperti yang dinyatakan oleh para ulama muta’akhirin. Tetapi
ini adalah syarat untuk mencegah dosa seperti dalam larangan shalat di tanah ghasab."
Kelima, tidak boleh
menggunakan pendapat dalam suatu masalah, kemudian menggunakan pendapat lain yang bertentangan dalam masalah yang sama,
seperti mengambil "shuf'ah al-jiwar" (sebidang tanah di sekitar
rumah) dengan bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah, kemudian menjualnya, kemudian
membelinya kembali. Sehingga, seseorang berhak atas "shuf'ah
al-jiwar" seperti yang dilakukan sesamanya. Maka ketika dia ingin
bertaqlid kepada Imam Syafi'i untuk menghindari membayarnya maka hal Ini tidak
diperbolehkan karena kedua imam tidak berpendapat pada masalah ini. Namun,
pandangan ini masih diperselisihkan karena didasarkan atas larangan taqlid setelah
beramal. Menurut pendapat yang ashah hal tersebut diperbolehkan, jadi apa yang
disampaikan oleh Al-Amudi dan Ibn al-Hajib yaitu melarang taqlid setelah amal,
hanya berlaku jika masih ada jejak dari tindakan pertama yang perlu
diperhitungkan dalam tindakan kedua.
Syarat keenam adalah
larangan tidak boleh talfiq diantara dua pendapat yang bisa mengakibatkan
terbentuknya satu rangkaian ibadah dari dua ucapan yang berbeda yang tidak
diucapkan oleh kedua imam tersebut secara bersamaan. Misalnya, seperti halnya dalam
satu shalat mengikuti pendapat Imam Syafi'i ketika mengusap sebagian kepala dan
mengikuti pendapat Imam Malik tentang bersuci dari najis anjing. Sebagaimana
yang disampaikan oleh Sheikh Ibn Hajar. Ibnu Ziyad berkata dalam kitab
fatawinya, dengan menuqil dari imam Bulqini bahwa talfiq (pencampuran) yang
tidak boleh dalam taqlid hanya terjadi pada satu aktivitas ibadah seperti
ketika seseorang mengambil wudhu kemudian dia bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah
dalam mengusap kemaluan dan Imam Syafi'i dalam hal bekam, maka shalatnya
menjadi batal karena kesepakatan kedua imam tentang batalnya kesucian orang
tersebut. Namun, jika penyusunan tersebut terkait dengan dua kasus yang
berbeda, seperti kebersihan dari hadats dan najis, maka hal tersebut tidak akan
dianggap salah, karena kedua imam tidak sepakat tentang kebatalan shalat. Oleh
karena itu, tidak boleh dikatakan bahwa mereka sepakat tentang kebatalan
shalat, karena penyusunan tersebut hanya berasal dari dua kasus yang berbeda,
dan ini tidak dianggap sebagai kesalahan seperti yang diterangkan oleh para
ahli fikih, dan dinyatakan oleh Al-Bulqini dalam fatwanya.
Sebagian ulama menambahkan syarat ketujuh yang
menuntut pengikut untuk mempercayai keunggulan atau kesetaraan pemimpin mereka
dengan yang lain. Sheikh Ibnu Hajar berkata setelah meriwayatkannya dari dia,
"Namun yang terkenal adalah bahwa para ulama yang lebih terpercaya
membolehkan meniru orang yang dianggap kurang utama asalkan ada yang lebih
utama." Al-Allamah Ibnu Abidin dalam menjawab Al-Muhtaar mengatakan,
"Disebutkan dalam Tahrir dan dijelaskan bahwa meniru orang yang dianggap
kurang utama dengan keberadaan orang yang lebih utama diperbolehkan."
Hanafi, Maliki, sebagian besar Hanbali dan Syafi'i, serta beberapa ulama fikih
lainnya mengatakan bahwa hal ini diperbolehkan." (Fawaid al-Makiyah, 160-162)
0 Response to "SYARAT-SYARAT TAQLID"
Posting Komentar