Dari permasalahan tersebut, bagaimanakah sebenarnya cara yang tepat
untuk menentukan arah kiblat dalam shalat, karena menghadap kiblat adalah
termasuk salah satu syarat sahnya shalat?
a. Menurut qaul yang rajih, harus lurus
menghadap ke fisik (’ain al-Ka’bah), meskipun bagi orang yang jauh dari
Ka’bah.
(مَسْأَلَةٌ: ك)
اَلرَّاجِحُ أَنَّهُ لاَ بُدَّ مِنْ اِسْتِقْباَلِ عَيْنِ الْقِبْلَةِ، وَلَوْ
لِمَنْ هُوَ خَارِجَ مَكَّةَ فَلاَ بُدَّ مِنْ اِنْحِرَافٍ يَسِيْرٍ مَعَ طُوْلِ
الصَّفِّ، بِحَيْثُ يَرَى نَفْسَهُ مُسَامِتاً لَهَا ظَنّاً مَعَ الْبُعْدِ (بغية
المسترشدين، ص 63)
Menurut qaul yang diunggulkan bahwasanya wajib
menghadap ke fisiknya ka’bah, walaupun bagi orang yang berada di luar Makkah,
maka wajib serong sedikit ketika shaf panjang, sekiranya orang tersebut
berkeyakinan bahwa dirinya tepat menghadap kiblat dan berprasangka (kira-kira)
apabila jauh dari Ka’bah. (Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 63)
b. Bagi orang yang berada di dalam Masjidil Haram
maka harus lurus dengan Ka’bah, bagi penduduk tanah Haram (Makkah
al-Mukarromah) maka cukup menghadap ke Masjidil Haram, dan bagi orang yang
berada di luar tanah Haram maka cukup menghadap ke seluruh wilayah atau daerah
tanah Haram. Sebagaimana keterangan berikut ini:
(قَوْلُهُ فَوَلِّ
وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ) إِلَى أَنْ قاَلَ إَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قاَلَ: اَلْبَيْتُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْمَسجِدِ وَاْلمَسْجِدُ قِبْلَةٌ لِأَهْلِ الْحَرَامِ وَالْحَرَامُ
قِبْلَةٌ لِأَهْلِ اْلأَرْضِ فِيْ مَشَارِقِهَا وَمَغَارِبِهَا مِنْ أُمَّتِيْ
(تفسير ابن كثير، ج 1، ص 187)
Sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda:
Baitullah (Ka’bah) adalah kiblat bagi ahli Masjidil Haram dan Masjidil Haram
adalah kiblat bagi orang-orang yang berada di tanah Haram, dan tanah Haram
adalah kiblat bagi umatku (penduduk bumi), baik yang bermukim di sebelah
timurnya maupun di sebelah baratnya. (Tafsir Ibn Katsir, juz 1, hal. 187)
c. Menurut qaul yang dipilih oleh Imam
Ghazali dan yang telah disahihkan oleh al-Jurjani, Ibnu Kajin dan Abi Ashrun,
bagi orang yang jauh dari Ka’bah dalam menghadap kiblat, mereka tidak harus
tepat lurus menghadap ke fisik Ka’bah, akan tetapi cukup menghadap ke arah
dimana Ka’bah berada. Sebagaimana keterangan dalam kitab Bughyah
al-Mustarsyidin:
وَالْقَوْلُ الثَّانِيْ يَكْفِي
اِسْتِقْباَلُ الْجِهَّةِ، أَيْ إِحْدَى الْجِهَاتِ اْلأَرْبَعِ الَّتِيْ فِيْهَا
الْكَعْبَةُ لِمَنْ بَعُدَ عَنْهَا وَهُوَ قَوِيٌّ، اِخْتاَرَهُ الْغَزَالِيُّ
وَصَحَّحَهُ الْجُرْجَانِيُّ وَابْنُ كَجٍ وَابْنُ أَبِيْ عَصْرُونْ، وَجَزَمَ
بِهِ الْمَحَلِّيُّ، قَالَ اْلأَذْرَعِيُّ: وَذَكَرَ بَعْضُ اْلأَصْحاَبِ أَنَّهُ
الْجَدِيْدُ وَهُوَ الْمُخْتاَرُ لِأَنَّ جِرْمَهَا صَغِيْرٌ يَسْتَحِيْلُ أَنْ
يَتَوَجَّهَ إِلَيْهِ أَهْلُ الدُّنْياَ فَيَكْتَفِى باِلْجِهَّةِ، وَلِهَذَا
صَحَّتْ صَلاَةُ الصَّفِّ الطَّوِيْلِ إِذَا بَعُدُوْا عَنِ الْكَعْبَةِ،
وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ بَعْضَهُمْ خَارِجُوْنَ مِنْ مُحَاذَاةِ الْعَيْنِ، وَهَذَا
الْقَوْلُ يُوَافِقُ الْمَنْقُوْلَ عَنْ أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَهُوَ أَنَّ
الْمَشْرِقَ قِبْلَةُ أَهْلِ الْمَغْرِبِ وَبِالْعَكْسِ، وَالْجَنُوْبَ قِبْلَةُ
أَهْلِ الشِّمَالِ وَبِالْعَكْسِ (بغية المسترشدين، ص 63)
Menurut pendapat yang kedua cukup hanya
menghadap ke arah kiblat yaitu salah satu dari empat arah kiblat bagi orang
yang jauh dari Ka’bah, dan pendapat ini yang diunggulkan. Yang dipilih oleh
Imam Ghazali dan dibenarkan oleh Imam al-Jurjani, Imam Ibnu Kajin dan Imam Ibnu
Abi Ashrun, dan diperkuat oleh Imam al-Mahalli. Menurut Imam al-Adzra’i
sebagian sahabat menjelaskan “Sesungguhnya pendapat yang baru adalah pendapat
yang terpilih, karena bentuk Ka’bah itu kecil sehingga sulit untuk menghadap
tepat ke fisik Ka’bah bagi orang-orang di seluruh dunia, maka cukup hanya
menghadap ke arah Ka’bah saja. Oleh karena itu sah shalatnya shof yang panjang
ketika jauh dari Ka’bah, dan sudah maklum bahwa sebagian dari mereka tidak bisa
tepat menghadap ke fisik Ka’bah. Dan pendapat ini sesuai dengan pendapatnya
Imam Abu Hanifah, yaitu sesungguhnya arah timur adalah kiblatnya orang yang
berada di wilayah barat dan sebaliknya, dan arah selatan adalah kiblat bagi
orang yang berdomsili di sebelah utara dan sebaliknya. (Bughyah
al-Mustarsyidin, hal. 63)
Keterangan yang sama dengan redaksi yang sedikit berbeda juga
terdapat pada kitab Fath al-Aziz Syarh al-Wajiz dan dalam kitab al-Syarh
al-Kabir li ar-Rafi’i.
Namun untuk menentukan arah kiblat yang tepat menghadap ke Ka’bah,
kita bisa menggunakan beberapa metode praktis sebagai berikut:
1. Metode Falaq (Durusul Falakiyah)
Dalam konteks Pasuruan misalnya, maka perlu dilihat terlebih dahulu
‘urdh al-balad (lintang tempat) dan thul al-balad (bujur tempat).
Adapun cara menghitungnya sebagai berikut:
Bujur Pasuruan: 070.09 LS / 1120.56 BT
Bujur Mekkah: 210.25 LU / 390.50 BT
Kemudian menggunakan rumus utama:
Sebelum menggunakan rumus utama, terlebih dahulu meng-gunakan rumus
bantu berikut:
Sisi a (a) = 90o
– ftp
Sisi b (b) = 90o
– fmk
b = 90o – 21o
25’ = 68o 35’ (tetap)
Sisi C (c) =
λtp – λmk
Keterangan: tp = lintang/bujur tempat, dan mk = lintang/bujur Mekah
Hasil dari rumus bantu tersebut kemudian dimasukkan pada rumus
utama, dan hasilnya untuk lebih mudah dapat juga dilihat dengan menggunakan
bantuan kalkulator Sainstific (Casio fx 120, 124, 130, 3600, 3800, 3900, 4100,
Karce-131 Scientific, Casio fx 350 MS SVPAM, 4000 P , 4500 P , 5000 P).
2. Metode Kompas
Misalnya, azimut (pergerakan) Matahari di Sengonagung
Purwosari Pasuruan sebesar 24,08 derajat dari titik barat. Cara perhitungan
24,08 derajat, seperti gambar berikut ini:
3. Metode Internet
Metode ini bisa langsung melalui Google Earth. Caranya dengan memasukkan
latitude (’urd al-balad) dan longitude (thul al-balad), Seperti
dalam contoh berikut ini:
Keterangan: Garis lurus tebal menunjukkan arah kiblat dari wilayah Sengonagung
Purwosari Pasuruan.
4. Metode Praktis
Pada tanggal 28 Mei dan sekitar 15/16 Juli tiap tahunnya, pada
tanggal tersebut di Makkah saat tengah hari, matahari tepat berada di atas
kepala. Pada saat itulah orang di Makkah tidak melihat bayangan mereka sendiri
karena matahari tegak lurus di atas mereka. Tetapi, di tempat lain di daerah yang
bisa melihat matahari, ada bayangan benda yang bisa dijadikan pemandu arah
kiblat.
Saat itulah seolah kita sedang melihat lampu sangat terang di atas
Masjidil Haram dan garis bayangan kita menjadi petunjuk arah Masjidil Haram.
Maka, berdasarkan dalil syar’i, kita diperintahkan untuk menghadapkan wajah
kita saat shalat ke arah itu, itulah arah kiblat. Dengan cara tersebut kita
dengan sangat mudah dapat menentukan arah kiblat dengan tepat, yakni cukup
dengan cara melihat matahari dan bayangannya sekitar pukul 16.18 WIB pada
tanggal 28 Mei atau 16.27 WIB pada tanggal 15/16 Juli.
Kalaupun pada hari tersebut terganggu oleh awan, plus minus 2 hari
dari tanggal tersebut dan plus minus 5 menit dari waktu tersebut masih cukup
akurat untuk digunakan dalam menentukan arah kiblat karena perubahan posisi
matahari relatif lambat.
0 Response to "Cara Menentukan Arah Kiblat dalam Shalat"
Posting Komentar