Aborsi

      Aborsi atau abortus menurut Bahasa adalah keguguran kandungan, pengguguran kandungan atau membuang janin. Menurut terminologi kedokteran berarti terhentinya kehamilan sebelum 28 minggu. Sedangkan dalam istilah hukum berarti pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).

Menurut para ahli medis abortus ada 2 macam yaitu:
1.      Abortus Spontaneus yaitu aborsi yang terjadi secara tidak disengaja, misalnya karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, sebab kecelakaan, dan lain-lain.
2.      Abortus Provocatus yaitu aborsi yang disengaja. Abortus Provocatus ini ada 2 Jenis yaitu:
     a.  Abortus artificialis therapicus: aborsi yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabila tindakan aborsi tidak diambil bisa membahayakan keselamatan jiwa ibu.
      b.   Abortus provocatus criminalis: aborsi yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Misalnya, aborsi yang dilakukan untuk melenyapkan janin dalam kandungan akibat hubungan seksual di luar nikah atau mengakhiri kehamilan yang tidak dikehendaki.

Dari uraian di atas, bagaimanakah hukum aborsi ditinjau dari hukum fikih?

Ulama fiqih kontemporer sebelum membahas hukum aborsi terlebih dahulu mengemukakan pembahasan tentang proses kejadian manusia di dalam rahim. Dalam surat al-Mu’minun ayat 12-14, Allah Swt. berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ﴿12﴾ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِيْنٍ ﴿13﴾ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ ﴿14﴾ (سورة المؤمنون: 12-14)
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (12). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim) (13). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik (14) (Qs. al-Mu’minun: 12-14)

     Ahmad Azhar Basyir, tokoh fiqih Indonesia, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan nutfah (air mani) dalam ayat 13 dan 14 dari surah al-Mu’minun (23) adalah tahapan pertama dari kejadian manusia, bukan cairan kental yang memancar dari kelamin laki-laki ketika terjadi ejakulasi. Karena jika nutfah diartikan sebagai cairan kental dari kelamin laki-laki atau air mani saja, hal tersebut tidak menunjukkan tahapan kejadian manusia. Oleh sebab itu, pengertian yang tepat tentang nutfah adalah hasil pembuahan setelah terjadinya pertemuan sperma dan ovum di dalam rahim. Demikian pula ‘alaqah diartikan sebagai segumpal darah dan tahapan kedua dari proses penciptaan manusia. ’Alaqah dalam arti asalnya, menurut Ahmad Azhar Basyir sejalan dengan hasil penyelidikan dalam ilmu embriologi, yaitu tahap buah melekat kemudian bersarang pada dinding rahim. Adapun mudhgah sebagai tahapan ketiga dari proses kejadian manusia lebih tepat diartikan sebagai embrio yang berproses menjadi calon bayi yang lengkap anggota tubuhnya, bukan sekadar segumpal daging. (Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 hal.8)
     Mengenai lamanya tahapan-tahapan janin berproses di dalam rahim dijelaskan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud (Ibnu Mas’ud): “Proses kejadian manusia pertama-tama merupakan bibit yang telah dibuahi dalam rahim ibu selama 40 hari, kemudian berubah menjadi ‘alaqah yang memakan waktu selama 40 hari, kemudian berubah menjadi mudhgah yang memakan waktu 40 hari pula. Setelah itu Allah mengutus malaikat yang diperintahkan menuliskan empat hal, yaitu tentang amalnya, rezekinya, ajalnya, dan nasibnya celaka atau bahagia, kemudian kepadanya ditiupkan roh…”.
قَالَ عَبْدُ اللهِ، حَدَّثَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوقُ قَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ... (صحيح البخاري، كتاب بدء الوحي)
      Menurut hadis di atas, janin baru dapat dikatakan menjadi makhluk hidup setelah melampaui batas waktu 120 hari; memasuki minggu ke-18 setelah terjadinya konsepsi atau pembuahan. Peniupan roh yang dimaksudkan dalam hadis ini atau yang dalam surah al-Mu’minun ayat 14 disebutkan dengan istilah:”…..kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain…”, menurut Sayyid Qutub (1906-1966; ahli tafsir dari Mesir), adalah dalam pengertian roh insani, yang membedakan manusia dari hewan. Bukan dalam artian bahwa sebelum itu belum ada roh kehidupan (secara biologis) dalam janin tersebut. Karena kalau roh kehidupan tidak ada, semua makhluk tidak bisa hidup dan berkembang. (Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 hal.8)
     Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa aborsi yang dilakukan dengan tidak disengaja (abortus spontaneous) tidak dikenakan sanksi hukum. Aborsi yang dikenai sanksi hukum adalah aborsi yang dilakukan dengan sengaja (abortus provocatus). Dalam membahas tentang hukum aborsi ini, jumhur ulama fikih berpedoman pada hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari di atas, yang mengatakan bahwa sebelum melalui proses 120 hari kandungan belum hidup atau belum bernyawa.

      Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih dalam menetapkan hukum terhadap aborsi, sebagaimana kami terangkan di bawah ini:

a.   Haram melakukan aborsi sekalipun roh belum ditiupkan, karena air mani apabila telah menetap di dalam rahim, meskipun belum melalui masa 40 hari, tidak boleh dikeluarkan. Alasannya adalah diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin hal. 246 sebagai berikut:
(مَسْأَلَةٌ: ك) يَحْرُمُ التَّسَبُّبُ فِيْ إِسْقَاطِ الْجَنِيْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِي الرَّحِمِ، بِأَنْ صَارَ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً وَلَوْ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوْحِ كَمَا فِي التُّحْفَةِ (بغية المسترشدين، ص 246)

b.   Boleh, menurut Imam Romli jika belum ditiupkan roh yaitu sebelum seratus dua puluh hari.
      Hal ini diterangkan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin dan I’anatut Thalibin, juz 4, hal. 130:
(مَسْأَلَةٌ: ك) يَحْرُمُ التَّسَبُّبُ فِيْ إِسْقَاطِ الْجَنِيْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِي الرَّحِمِ، بِأَنْ صَارَ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً وَلَوْ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوْحِ كَمَا فِي التُّحْفَةِ، وَقاَلَ (م ر) لاَ يَحْرُمُ إِلاَّ بَعْدَ النَّفْخِ، وَاخْتَلَفَ النَّقْلُ عَنِ الْحَنَفِيَّةِ فِي الْجَوَازِ مُطْلَقاً وَفِيْ عَدَمِهِ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوْحِ، وَهَلْ هُوَ كَبِيْرَةٌ؟ اَلْأَحْوَطُ أَنْ يُّقَالَ: إِنْ عُلِمَ الْجَانِيْ بِوُجُوْدِ الْحَمْلِ بِقَرَائِنِ اْلأَحْوَالِ وَتَعَمَّدَ فِعْلُ مَا يَجْهَضُ غاَلِباً وَقَدْ نُفِخَ فِيْهِ الرُّوْحُ وَلَمْ يَقْلِدْ اَلْقَائِلُ بِالْحَلِ فَكَبِيْرَةٌ وَإِلاَّ فَلاَ (بغية المسترشدين، ص 246)
(قَوْلُهُ: فَرْعٌ أَفْتَى أَبُوْ إِسْحَاقِ إِلَخْ) عِبَارَةُ التُّحْفَةِ فِيْ فَصْلِ عِدَّةِ الْحَامِلِ. فَرْعٌ: اِخْتَلَفُوْا فِي التَّسَبُّبِ لِاِسْقاَطِ مَالَمْ يَصِلْ لِحَدِّ نَفْخِ الرُّوْحِ فِيْهِ وَهُوَ مِائَةٌ وَعِشْرُوْنَ يَوْماً، وَالَّذِيْ يُتَّجَهُ وِفَاقًا لِابْنِ الْعِمَادِ وَغَيْرِهِ الْحَرَمَةُ (إعانة الطالبين، ج 3 ص 130)

     Aborsi yang dilakukan karena darurat atau apabila ada uzur yang benar-benar tidak mungkin dihindari, yang dalam istilah fikih disebut keadaan darurat, seperti apabila janin dibiarkan tumbuh dalam rahim akan berakibat kematian ibu. Ulama sepakat bahwa dalam keadaan seperti ini, ibu tidak dikorbankan untuk keselamatan bayi, sebab ibu adalah asal bagi terjadinya bayi. Dasar pendapat ini adalah kaidah fikih mengatakan bahwa apabila terdapat dua hal yang merugikan, padahal tidak mungkin dihindari keduanya, maka harus ditentukan pilihan kepada yang lebih ringan kerugiannya.
وَعِنْدَ وُجُوْدِ الضَّرُوْرَةِ فَعَلَى الْقَاعِدَةِ الْفِقْهِيَّةِ إِذَا تَعَارَضَتْ الْمَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا مَفْسَدَةٌ إهـ (البجورى على فتح القريب في كتاب النكاح، ج 2 ص 93)
Dan ketika dalam keadaan darurat maka sesuai dengan qaidah fiqhiyah “Ketika terjadi dua mafsadat (bahaya) maka hindari mafsadat yang lebih besar dengan melakukan mafsadat yang paling ringan”. (al-Bajuri ala Fath al-Qarib, kitab an-Nikah, juz 2, hal. 93)

     Pada kasus aborsi dalam keadaan darurat, menurut Ahmad Azhar Basyir, yang lebih ringan kerugiannya adalah dengan menyelamatkan ibu dan mengorbankan janin. Menurut Mahmud Syaltut, keadaan amat mendesak seperti ini sudah termasuk keadaan darurat dan dalam keadaan darurat, aborsi dapat dibenarkan oleh syariat islam. (Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 1 hal.9)

      Apabila aborsi dilakukan karena sebab-sebab lain yang sama sekali tidak terkait dengan keadaan darurat, seperti untuk menghindarkan rasa malu atau karena faktor ekonomi, maka hukumnya haram. Alasannya adalah firman Allah SWT dalam surah an-Nahl (16) ayat 58-59:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (58) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ (59) (سورة النحل: 58-59)
Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Qs. an-Nahl: 58-59)
      Dalam ayat ini, Allah Swt menceritakan kebiasaan orang Arab Jahiliah yang merasa malu mendapat anak perempuan, sehingga mereka sampai hati untuk menguburnya.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Aborsi"

Posting Komentar