Pandangan Fiqh tentang Salah Tangkap Tersangka yang telah Dijatuhi Sanksi/Hukuman

 

Sumber Gambar: tribrata news polda NTT

PANDANGAN FIQH TENTANG SALAH MENANGKAP TERSANGKA YANG TELAH DIJATUHI SANKSI/HUKUMAN

Di sebuah desa, terjadi pencurian besar - besaran di sebuah pasar. Setelah dilakukan penyelidikan oleh pihak keamanan desa, seorang pria bernama Ali ditangkap karena diduga sebagai pelaku pencurian. Setelah melalui proses persidangan dan berdasarkan bukti yang ada, Ali dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman denda sebesar Rp. 6.000.000,00 dan penjara 5 tahun. Namun, setelah beberapa hari, muncul seorang saksi baru yang memberikan informasi penting bahwa sebenarnya bukan Ali yang melakukan pencurian tersebut, melainkan seorang pria lain yang mirip dengannya. Akibat kesaksian ini, pengadilan kembali mengkaji kasus tersebut dan akhirnya menyatakan bahwa Ali tidak bersalah

Berdasarkan deskripsi di atas bagaimana pandangan fiqh tentang salah menangkap tersangka kejahatan yang telah dijatuhi sanksi/hukuman?

Dijelaskan dalam kitab Al-Tanbih juz 1 hal 273 jika putusan hakim didasarkan pada kesaksian dua saksi yang ternyata tidak memenuhi syarat (seperti ternyata budak, kafir, atau fasik), maka putusan itu bisa batal.

Jika putusan yang dibatalkan melibatkan hukuman fisik (seperti potong anggota tubuh atau hukuman mati), maka tanggung jawabnya beralih ke pemerintah. Namun, jika putusan itu melibatkan pembayaran harta, maka ada ketentuan yaitu:

  1. Jika harta itu masih ada, harus dikembalikan.

  2. Jika harta sudah habis atau rusak, pihak yang menang perkara (yang terbantu oleh saksi tidak sah) harus mengganti.

  3. Jika pihak tersebut tidak mampu, maka hakim yang harus mengganti, tetapi hakim boleh menuntut ganti dari pihak itu jika nanti mereka mampu

وَإِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ بِشَهَادَةِ شَاهِدَيْنِ، ثُمَّ بَانَ أَنَّهُمَا كَانَا عَبْدَيْنِ أَوْ كَافِرَيْنِ؛ نُقِضَ الْحُكْمُ، وَإِنْ بَانَ أَنَّهُمَا كَانَا فَاسِقَيْنِ عِنْدَ الْحُكْمِ نُقِضَ الْحُكْمُ فِي أَصَحِّ الْقَوْلَيْنِ وَلَا يُنْقَضُ فِي الْآخَرِ. وَمَتَى نُقِضَ الْحُكْمُ؛ فَإِنْ كَانَ الْمَحْكُومُ بِهِ إِتْلَافًا كَالْقَطْعِ وَالْقَتْلِ- ضَمِنَهُ الْإِمَامُ، وَإِنْ كَانَ مَالًا؛ فَإِنْ كَانَ بَاقِيًا رَدَّهُ الْمَحْكُومُ لَهُ، فَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا ضَمِنَهُ الْحَاكِمُ، ثُمَّ يَرْجِعُ بِهِ عَلَى الْمَحْكُومِ لَهُ إِذَا أَيْسَرَ. (التنبيه: ج ١، ص ٢٧٤)

“Jika hakim memutuskan berdasarkan keterangan dua orang saksi, kemudian terbukti bahwa mereka itu budak atau kafir, maka putusan itu batal, dan jika pada waktu putusan itu ternyata mereka orang fasik, maka putusan itu batal menurut pendapat yang lebih tepat. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan hukumnya tidak batal. Ketika hukum telah dibatalkan, maka jika hukumnya adalah perusakan, seperti memotong (anggota tubuh) atau hukuman mati, maka imamlah (pemerintah) yang bertanggung jawab, dan jika hukumannya membayar denda/harta, maka jika harta itu masih ada, ia harus mengembalikannya, jika sudah rusak, maka yang menanggung adalah pihak yang memenangkan perkara, dan jika ia tidak mampu, maka hakim yang menanggungnya, kemudian hakim dapat meminta ganti kepada pihak yang memenangkan perkara jika ia sudah mampu.” (al-Tanbih juz I, halaman 273)

Tambahan:

Salah tangkap merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian besar bagi korban, baik secara psikologis, sosial, maupun materiil. Dalam konteks negara hukum seperti Indonesia, salah tangkap harus ditangani secara serius karena berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia dan keadilan. Berikut adalah tanggapan hukum menurut negara:

Dasar Hukum dan Ketentuan Ganti Rugi Korban Salah Tangkap

1. Dasar Hukum 

  • Pasal 95 ayat (1) KUHAP: Tuntutan ganti rugi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya ke pengadilan.  

  • Pasal 95 ayat (3) KUHAP: Pengajuan dilakukan kepada pengadilan yang berwenang.  

  • PP No. 92 Tahun 2015: Mengatur mekanisme, jangka waktu, dan besar ganti rugi.  

2. Jangka Waktu Pengajuan (Pasal 7 PP No. 92/2015)  

3 bulan sejak diterimanya petikan atau salinan putusan berkekuatan hukum tetap. Untuk kasus yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, dihitung dari tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.

3. Besaran Ganti Rugi (Pasal 9 PP No. 92/2015)  

  • Penghentian perkara (penyidikan atau penuntutan): Rp. 500.000.000 - Rp. 100.000.000  

  • Luka berat atau cacat sehingga tidak dapat bekerja: Rp. 25.000.000 - Rp. 300.000.000

  • Mengakibatkan kematian: Rp. 50.000.000 - Rp. 600.000.000.


Penulis     : Nur Azizah., S.AB

Perumus : Ust. Teguh Pradana., S.P

Mushohih : Ust. Syafi’udin Fauzi., M.Pd


Daftar Pustaka

al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Firuzabadi, (W. 476 H), al-Tanbih, ‘Alam al-Kutub, Beirut, Cet. satu, 1983 M, Sebanyak Jilid 1.

KUHAP. Indonesia. Undang - Undang Ayat 1 Pasal 95 tentang Ganti Rugi Salah Tangkap. Jakarta: Sekretariat Negara.

KUHAP. Indoesia. Undang - Undang Ayat 3 Pasal 95 tentang  Tuntutan Ganti Kerugian diajukan oleh Tersangka, Terdakwa, Terpidana atau Ahli Warisnya kepada Pengadilan yang Berwewenang Mengadili Perkara yang Bersangkutan. Jakarta: Sekretariat Negara.

KUHAP. Indonesia. 2015. Undang - Undang Nomor 92. Pasal 7 tahun 2015 tentang Jangka Waktu Pengajuan. Jakarta: Sekretariat Negara.

KUHAP. Indonesia. 2015. Undang - Undang Nomor 92. Pasal 9 tahun 2015 tentang Besaran Ganti Rugi. Jakarta: Sekretariat Negara.

=============================================================


=============================================================



Posting Komentar untuk "Pandangan Fiqh tentang Salah Tangkap Tersangka yang telah Dijatuhi Sanksi/Hukuman"