HUKUM ORANG ISLAM MERAYAKAN SELAIN TAHUN BARU HIJRIYAH
Tanggal 1 Januari merupakan perayaan tahun baru
Masehi (tahun berdasarkan atas peredaran matahari). Dalam Islam kita mengenal
perayaan tahun baru Hijriyah (tahun berdasarkan atas peredaran bulan) yaitu
pada tanggal 1 Muharram. Secara garis besar, tahun baru Hijriyah dengan tahun
baru Masehi tidak jauh berbeda, yakni suatu kegiatan yang berharga bagi setiap
orang untuk introspeksi diri, sejauh mana nilai positif dan negatifnya
perbuatan yang selama ini dilakukan. Namun perbedaan itu justru muncul
mengekspresikan kegiatan tersebut. Dalam perayaan tahun baru Hijriyah dirayakan
dengan hal-hal yang positif. Akan tetapi tahun baru Masehi identik dengan
hura-hura, foya-foya dan sejenisnya.
Bagaimana hukum orang Islam ikut merayakan selain tahun baru Hijriyah?
A. Haram
Haram merayakan tahun baru Masehi apabila ada unsur tasyabbuh (menyerupai) atas perbuatan yang menjadi kekhususan doktrin orang kafir karena menurut sejarah penanggalan Masehi dibuat oleh umat kristiani atau adanya kegiatan maksiat di dalamnya.
B. Boleh
Boleh merayakan tahun baru Masehi ketika tidak ada
kemaksiatan dan tidak ada niatan tasyabbuh kepada umat Kristen karena
pada zaman sekarang penanggalan Masehi tidak hanya digunakan oleh umat
kristiani saja tetapi digunakan sebagai sistem penanggalan dunia dan dianjurkan
mengisi malam tahun baru dengan hal-hal yang bernilai positif seperti
silaturahmi, mengadakan majelis pengajian dan lain-lain.
فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إِنَّ فِعْلَ
ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِيْ شِعَارِ اْلكُفْرِ كَفَرَ قَطْعًا أَوْ
فِيْ شِعَارِ الْعِيْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنِ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ،
وَلَكِنَّهُ يَأْثِمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ التَّشَبُّهَ بِهِمْ أَصْلاً وَرَأْسًا
فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، ثُمَّ رَأَيْتُ بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِيْنَ
ذَكَرَ مَا يُوَافِقُ مَا ذَكَرْتُهُ فَقَالَ: وَمِنْ أَقْبَحُ الْبِدَعِ
مُوَافَقَةٌ الْمُسْلِمِيْنَ النَّصَارِى فِيْ أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبِّهِ
بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدْيَّةِ لَهُمْ وَقَبُوْلِ هَدِيَّتِهِمْ فِيْهِ وَأَكْثَرُ
النَّاسِ اِعْتِنَاءُ بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّوْنَ، وَقَدْ قَالَ: «مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»، بَلْ قَالَ اِبْنُ الْحَاج: لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ
أَنْ يَبِيْعَ نَصْرَانِيًّا شَيِئًا مِنْ مَصْلَحَةِ عِيْدِهِ لَا لَحْمًا وَلَا
أَدِمًا وَلَا ثَوْبًا وَلَا يُعَارُوْنَ شَيْئًا وَلَوْ دَابَّةٌ إِذْ هُوَ
مُعَاوَنَةٌ لَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ وَعَلَى وُلَاةِ الْأَمْرِ مَنَعَ
الْمُسْلِمِيْنَ مَنَنَ ذَلِكَ. (الفتاوى الفقهية الكبرى: ج 4، ص 239)
“Al-hasil bahwa apabila seseorang (muslim)
melakukan hal itu dengan tujuan menyerupai mereka dalam simbol kekafiran, maka
kafirlah dia dengan pasti; atau dalam simbol hari raya tanpa memandang
kekafirannya, maka ia tidak kafir akan tetapi ia berdosa. Dan apabila ia tidak
bertujuan menyerupai mereka sama sekali, maka tidak apa-apa. Kemudian aku
melihat sebagian ulama’ muta’akhirin mengungkapkan penjelasan yang senada
dengan yang telah saya ungkapkan seraya mengatakan, bahwa seburuk-buruk bid’ah
yaitu perilaku umat Islam menyamai umat Nasrani (Kristen) pada momen hari raya
mereka dengan makan bersama mereka, memberi hadiah kepada mereka dan menerima
hadiah dari mereka. Kebanyakan manusia yang sangat perhatian dengan hal itu adalah
masyarakat Mesir padahal Nabi SAW telah bersabda “Barang siapa menyerupai suatu
kaum maka ia menjadi bagian dari mereka”, bahkan Ibn al-Hajj mengatakan bahwa
tidak halal bagi seorang muslim menjual kepada orang Nasrani sesuatu yang
merupakan kemaslahatan bagi hari rayanya, baik berupa daging, lauk pauk dan pakaian,
dan umat Islam jangan meminjamkan (kepada non-muslim) sesuatu apapun walaupun
kendaraan, sebab demikian itu berarti membantu mereka atas kekafiranya, dan
wajib atas pemerintah melarang umat Islam melakukan hal di atas (Hasyiyah Ibnu Hajar al-Haitami, 6:153).
أَكَّدَ الدُكْتُورُ شَوْقِي
عَلَامٍ مُفْتِي الْجُمْهُورِيَّةِ أَنَّ الْاِحْتِفَالِ بِرَأْسِ
السَّنَةِ الِميْلَادِيَّةِ المُؤَرَّخِ بِيَوْمِ مِيْلَادِ سَيِّدِنَا المَسِيْحِ
عِيْسَى اِبْنِ مَرْيَمَ عَلَى نِبِيِّنَا وَعَلَيْهِ السَّلَامُ، بِمَا يَتَضَمَّنَهُ
مِنْ مَظَاهِرِ الْاِحتِفَالِ وَالتَّهْنِئَةِ بِهِ: جَائِزٌ شَرعًا، وَلَا حُرْمَةَ
فِيْهِ؛ لِاِشْتِمَالِهِ عَلَى مَقَاصِدِ اجْتِمَاعِيَّةٍ وَدِيْنِيَّةٍ وَوَطَنِيَّةٍ
مُعْتَدٍّ بِهَا شَرْعًا وَعُرْفًا؛ مِن تَذَكُّرِ نِعَمِ اللهِ تَعَالَى فِي تَدَاوُلِ
الْأَزْمِنَةِ وَتَجَدُّدِ الْأَعْوَامِ، وَقَدْ أَقَرَّت الشَّرِيْعَةُ النَّاسَ
عَلَى أَعْيَادِهِمْ لِحَاجَتِهِمْ إِلَى التَّرْوِيْحِ عَنْ نُفُوْسِهِمْ، وَنَصَّ
الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ اِسْتِغْلَالِ هَذِهِ المَوَاسِمِ فِي فِعْلِ
الْخَيْرِ وَصِلَةِ الرَّحْمِ وَالْمَنَافِعِ الْاِقْتِصَادِيَّةِ وَالْمُشَارَكَةِ
الْمُجْتَمِعِيَّةِ، وَأَنَّ صُوْرَةَ الْمُشَابَهَةِ لَا تَضُرُّ إِذَا تَعَلَّقَ
بِهَا صَالِحُ الْعِبَادِ، مَا لَمْ يَلْزَمْ مِنْ ذَلِكَ الْإِقْرَارِ عَلَى عَقَائِدِ
مُخَالِفَةٍ لِلْإِسْلَامِ، (الفتوى دار الإفتاء مصر)
“Dr. Syauqi ‘Alam menguatkan bahwa
merayakan tahun baru masehi yang ditandai dengan kelahiran nabi Isa bin Maryam
As. yang mana termasuk nabi kita dengan melakukan perkara-perkara yang
terkandung pada perayaan tersebut dan mengucapkan selamat tahun baru secara
syari’at hukumnya boleh dan tidak haram karena mengandung nilai sosial,
keagamaan, dan nasionalisme yang berlaku dalam syariat dan adat. Hal tersebut
juga termasuk mengingat-ingat nikmat Allah secara terus-menerus. Syari’at telah
menetapkan manusia atas hari raya mereka untuk kebutuhan mereka dalam menghibur
hati mereka. Para Ulama menetapkan disyari’atkan mengisi hari raya ini dengan
melakukan kebaikan, silaturrahmi, pemanfaatan ekonomi, dan nilai social.
Sesungguhnya tasyabbuh itu tidak berbahaya ketika berhubungan dengan kemaslahat
umat selama tidak ikrar terhadap akidah-akidah yang berlawanan dengan islam”
(Fatwa Daar al-Ifta’ Mesir)
0 Response to "HUKUM ORANG ISLAM MERAYAKAN SELAIN TAHUN BARU HIJRIYAH"
Posting Komentar