MEYAKINI HITUNGAN JAWA

 

MEYAKINI HITUNGAN JAWA

Bagi masyarakat Jawa tidak asing dengan istilah weton. Baik weton saat awal membangun rumah maupun perjodohan, weton saat awal membangun rumah diyakini sangat berpengaruh pada keberlangsungan dan kesejahteraan bagi penghuninya, sedangkan weton jodoh, dipercaya memberikan gambaran kecocokan dan kelanggengan bagi orang yang berencana menikah.

Mengingat pernikahan merupakan hal yang sakral dan penting, banyak masyarakat Jawa yang masih meyakini berpegang teguh pada perhitungan Jawa tersebut, dimana hitungan tersebut diyakini berkaitan erat dengan dampak baik dan buruk untuk kehidupan rumah tangga dan keturunannya.

Bagaimanakah hukum meyakini hitungan weton jawa?

Haram jika menyakini bahwa yang menjadikan baik dan buruk bukanlah Allah. Tetapi ketika masih menyakini bahwa yang menjadikan baik dan buruk hanyalah Allah maka hukumnya Boleh seperti perkataan ahli Nujum yang mengatakan bahwa hari ini kurang baik,. Namun, masih meyakini bahwasanya tidak ada yang dapat memberi pengaruh [baik-buruk] selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu.

(مَسْأَلَةٌ) إِذَا سَأَلَ رَجُلٌ اَخَرُ هَلْ لَيْلَةٌ كَذَا اَوْ يَوْمٌ كَذَا يَصْلُحُ لِلْعَقْدِ اَوِ النَّقْلَةِ فَلَا يَحْتَاجُ إِلَي جَوَابٍ لِاَنَّ الشَّارِعَ نَهْيٌ عَنِ اعْتِقَادٍ ذٰلِكَ وَزَجَرَ عَنْهُ زَجْرًا بَلِيْغًا فَلَا عِبْرَةَ بِمَنْ يَفْعَلُهُ. وَذَكَرَ ابْنُ الْفَرْكَاحِ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ اِنْ كَانَ الْمُنْجِمُ يَقُوْلُ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَايُؤَثِّرُ إِلَّا اللهُ وَلَكِنْ أَجْرَى اللهُ الْعَادَةَ بِأَنَّهُ يَقَعُ كَذَا عِنْدَ كَذَا. وَالْمُؤَثِّرُ هُوَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ. فَهٰذِهِ عِنْدِيْ لَابَأْسَ فِيْهِ وَحَيْثُ جَاءَ الذَّمُّ يُحْمَلُ عَلَى مَنْ يَعْتَقِدُ تَأْثِيْرَ النُّجُوْمِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ. وَأَفْتَى الزَّمَلْكَانِيْ بِالتَّحْرِيْمِ مُطْلَقًا. اهـ (غاية التلخيص المراد من فتاوى ابن زياد: ص 206)

Apabila seseorang bertanya pada orang lain, apakah malam ini baik untuk di gunakan akad nikah atau pindah rumah maka pertanyaan seperti tidak perlu dijawab, karena nabi pembawa syariat melarang meyakini hal semacam itu dan mencegahnya dengan pencegahan yang sempurna maka tidak ada pertimbangan lagi bagi orang yang masih suka mengerjakannya, Imam Ibnu Farkah menuturkan dengan menyadur pendapat Imam syafi’I : “Apabila ahli nujum itu berkata dan meyakini bahwasanya tidak ada yang dapat memberi pengaruh [baik-buruk] selain Allah, hanya saja Allah menjadikan kebiasaan bahwa terjadi hal tertentu di waktu tertentu sedangkan yang dapat memberi pengaruh hanyalah Allah semata, maka ini menurutku tak mengapa. Celaan yang ada terhadap hal ini seyogyanya dibawakan dalam konteks apabila diyakini bahwa bintang-bintang itu atau makhluk lainnya bisa memberikan pengaruh [baik-buruk]” dan al-Zamalkany berfatwa bahwa hal itu mutlaq haram (Ghayat al-Talkhis al-Murad min Fatawi Ibni Ziyad, 206)

فَمَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ الْأَسْبَابَ الْعَادِيَةَ كَالنَّارِ وَالسِّكِّيْنِ وَالْأَكْلِ وَالْشَرَبِ تُؤَثِّرُ فِى مُسَبَّبَاتِهَا الْحَرَقَ وَالْقَطْعَ وَالشَّبْعَ والرَّيَّ بِطَبْعِهَا وَذَاتِهَا فَهُوَ كَافِرٌ بِالْإِجْمَاعِ أَوْ بِقُوَّةٍ خَلَقَهَا اللهُ فِيْهَا فَفِيْ كُفْرِهِ قَوْلَانِ وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ لَيْسَ بِكَافِرٍ بَلْ فَاسِقٌ مُبْتَدِعٌ وَمِثْلُ الْقَائِلِيْنَ بِذَلِكَ الْمُعْتَزِلَةُ الْقَائِلُوْنَ بِأَنَّ الْعَبْدَ يَخْلُقُ أَفْعَالَ نَفْسِهِ الْإِخْتِيَارِيَّةِ بِقُدْرَةٍ خَلَقَهَا اللهُ فِيْهِ فَالْأَصَحُّ عَدَمُ كُفْرِهِمْ وَمَنْ اِعْتَقَدَ الْمُؤَثِّرَ هُوَ اللهُ لَكِنْ جَعَلَ بَيْنَ الْأَسْبَابِ وَمُسَبَّبَاتِهَا تَلَازُمًا عَقْلِيًّا بِحَيْثُ لَا يَصِحُّ تَخَلُّفُهَا فَهُوَ جَاهِلٌ وَرُبَّمَا جَرَّهُ ذٰلِكَ إِلٰى الْكُفْرِ فَإِنَّهُ قَدْ يُنْكِرُ مُعْجِزَاتِ الْأَنْبِيَاءِ لِكَوْنِهَا عَلٰى خِلَافِ الْعَادَةِ وَمَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ الْمُؤَثِّرَ هُوَ اللهُ وَجَعَلَ بَيْنَ الْأَسْبَابِ وَالْمُسَبَّبَاتِ تَلَازُمًا عَادِيًّا بِحَيْثُ يَصِحُّ تَخَلُّفُهَا فَهُوَ الْمُؤْمِنُ النَّاجِى إِنْ شَاءَ اللهُ إهـ (تحفة المريد ص: 58)

Barangsiapa berkeyakinan segala sesuatu terkait dan tergantung pada sebab dan akibat seperti api menyebabkan membakar, pisau menyebabkan memotong, makanan menyebabkan kenyang, minuman menyebabkan segar dan lain sebagainya dengan sendirinya (tanpa ikut campur tangan Allah) hukumnya kafir dengan kesepakatan para ulama, atau berkeyakinan terjadi sebab kekuatan (kelebihan) yang diberikan Allah didalamnya menurut pendapat yang paling shahih tidak sampai kufur tapi fasiq dan ahli bidah seperti pendapat kaum mu’tazilah yang berkeyakinan bahwa seorang hamba adalah pelaku perbuatannya sendiri dengan sifat kemampuan yang diberikan Allah pada dirirnya, atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Allah hanya saja segala sesuatu terkait sebab akibatnya secara rasio maka dihukumi orang bodoh atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Allah hanya saja segala sesuatu terkait sebab akibatnya secara kebiasaan maka dihukumi orang mukmin yang selamat, Insya Allah". (Tuhfah al-Murid,58)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MEYAKINI HITUNGAN JAWA"

Posting Komentar