TATA CARA BERWUDHU’ UNTUK ORANG
YANG MEMAKAI PERBAN
Cara wudhu’ orang yang memakai perban:
- Jika tidak
khawatir bahaya bila dibuka, maka perban harus dibuka dan berwudhu’ seperti biasa.
- Jika khawatir
bahaya bila dibuka, maka cara wudhu’nya adalah mengganti bagian yang diperban
dengan tayamum dan mengusap perbannya dengan air, sementara anggota yang lain
wajib dibasuh sebagaimana biasa. Contoh: orang yang diperban tangannya, maka
cara wudhu’nya adalah:
- Membasuh muka dibarengi dengan niat wudhu’.
- Bertayamum, kemudian membasuh bagian tangan yang tidak diperban sedangkan bagian tangan yang diperban cukup diusap dengan air. Atau membasuh dan mengusap dulu lalu bertayamum.
- Mengusap kepala
- Membasuh kaki.
Catatan:
Bagian kulit yang terdapat di sekitar perban tetap
wajib dibasuh. Agar mudah saat membasuhnya, sebaiknya menggunakan potongan kain
atau kapas yang telah dibasahi, kemudian kain tersebut di letakkan pada bagian
sekitar perban sambil diperas pelan-pelan agar tetesannya merata di sekeliling
anggota yang diperban. Sebelum bertayamum, tangan dan wajah harus dalam kondisi
kering. Jika perban terdapat pada anggota tayamum, maka wajib diusap dengan
debu. Dalam mandi besar, tayamum dapat dilakukan kapan saja, karena mandi tidak
disyaratkan harus tertib.
(السَّادِسُ وَالسَّابِعُ الْجَبِيرَةُ)
وَهِيَ أَخْشَابٌ وَنَحْوُهَا تُرْبَطُ عَلَى الْكَسْرِ وَالِانْخِلَاعِ (وَاللَّصُوقُ)
بِفَتْحِ اللَّام وَهُوَ مَا كَانَ عَلَى جُرْحٍ مِنْ قُطْنَةٍ أَوْ خِرْقَةٍ أَوْ
نَحْوِهِمَا (فَإِنْ) (احْتَاجَ إلَى وَضْعِهَا) أَيْ الْجَبِيرَةِ (لِكَسْرٍ) أَوْ
انْخِلَاعٍ (أَوْ إلَى) وَضْعِ (لَصُوقٍ لِجِرَاحَةٍ) بِأَنْ خَافَ شَيْئًا مِمَّا
مَرَّ فِي الْمَرَضِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْأَصْلُ (فَلْيَضَعْهُمَا عَلَى طُهْرٍ)
كَالْخُفِّ (وَيَسْتُرُ) مِنَ الصَّحِيحِ تَحْتَهُمَا (قَدْرَ الْحَاجَةِ) لِلِاسْتِمْسَاكِ
فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَسَيَأْتِي حُكْمُهُ (فَإِنْ خَافَ مِنْ نَزْعِهِمَا
مَا ذَكَرْنَاهُ) مِنَ الْخَوْفِ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا مَرَّ (غَسَلَ وُجُوبًا مَا يُمْكِنُ)
غَسْلُهُ وَلَوْ بِأُجْرَةٍ فَاضِلَةٍ عَمَّا مَرَّ فِي نَظِيرِهِ فِي صِفَةِ الْوُضُوءِ
لِأَنَّ عِلَّةَ بَعْضِ الْعُضْوِ لَا تَزِيدُ عَلَى فَقْدِهِ وَلَوْ فُقِدَ وَجَبَ
غَسْلُ الْبَاقِي فَكَذَا غَسْلُ مَا ذُكِرَ هُنَا (وَ) لَوْ (مَا تَحْتَ أَطْرَافِ
الْجَبِيرَةِ مِنْ صَحِيحٍ بِبَلِّ خِرْقَةٍ وَعَصْرِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ) مِمَّا فِيهِ
رِفْقٌ لِتُغْسَلَ تِلْكَ الْمَحَلُّ بِالْمُتَقَاطَرِ فَإِنْ تَعَذَّرَ أَمَسَّهُ
مَاءً بِلَا إفَاضَةٍ نَصَّ عَلَيْهِ وَجَزَمُوا بِهِ ذَكَرَهُ فِي التَّحْقِيقِ وَغَيْرِهِ
وَمَا قِيلَ أَنَّهُ قَالَ مَسَحَهُ بِمَاءٍ سَهْوٌ، وَقَوْلُهُ: وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنْ
زِيَادَتِهِ (وَيَجِبُ اسْتِيعَابُهُمَا) أَيْ الْجَبِيرَةِ وَاللَّصُوقِ إذَا كَانَا
بِأَعْضَاءِ الطُّهْرِ (مَسْحًا بِالْمَاءِ حِينَ يَغْسِلُ الْمُحْدِثُ الْعُضْوَ)
الْعَلِيلَ لِلتَّرْتِيبِ بِخِلَافِ الْجُنُبِ يَمْسَحُ مَتَى شَاءَ أَمَّا الْمَسْحُ
«فَلِقَوْلِهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فِي مَشْجُوجٍ احْتَلَمَ وَاغْتَسَلَ
فَدَخَلَ الْمَاءُ شَجَّتَهُ وَمَاتَ إنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِبَ
رَأْسَهُ بِخِرْقَةٍ ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ» رَوَاهُ
أَبُو دَاوُد وَغَيْرُهُ، وَأَمَّا اسْتِيعَابُهُ فَلِأَنَّهُ مَسْحٌ أُبِيحَ لِلضَّرُورَةِ
كَالتَّيَمُّمِ وَخَرَجَ بِالْمَاءِ التُّرَابُ فَلَا يَجِبُ الْمَسْحُ بِهِ كَمَا
سَيَأْتِي (وَلَا يَتَقَدَّرُ الْمَسْحُ) بِمُدَّةِ لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيهِ تَوْقِيفٌ
وَلِأَنَّ السَّاتِرَ لَا يُنْزَعُ لِلْجَنَابَةِ بِخِلَافِ الْخُفِّ فِيهِمَا (ثُمَّ)
بَعْدَمَا تَقَرَّرَ نَقُولُ: (يَجِبُ التَّيَمُّمُ) لِخَبَرِ الْمَشْجُوجِ السَّابِقِ
وَهَذَا التَّيَمُّمُ بَدَلٌ عَنْ غَسْلِ الْعُضْوِ الْعَلِيلِ وَمَسْحُ السَّاتِرِ
لَهُ بَدَلٌ عَنْ غَسْلِ مَا تَحْتَ أَطْرَافِهِ مِنَ الصَّحِيحِ كَمَا فِي التَّحْقِيقِ
وَغَيْرِهِ وَعَلَيْهِ يُحْمَلُ قَوْلُ الرَّافِعِيِّ أَنَّهُ بَدَلٌ عَمَّا تَحْتَ
الْجَبِيرَةِ وَقَضِيَّةُ ذَلِكَ أَنَّهُ لَوْ كَانَ السَّاتِرُ بِقَدْرِ الْعِلَّةِ
فَقَطْ أَوْ بِأَزْيَدَ وَغَسَلَ الزَّائِدَ كُلَّهُ لَا يَجِبُ الْمَسْحُ وَهُوَ الظَّاهِرُ
فَإِطْلَاقُهُمْ وُجُوبَ الْمَسْحِ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ مِنْ أَنَّ السَّاتِرَ يَأْخُذُ
زِيَادَةً عَلَى مَحَلِّ الْعِلَّةِ وَلَا يُغْسَلُ (أسنى المطالب في شرح روض الطالب:
ج 1، ص 81)
Yang ke enam dan ke tujuh adalah Jabirah yaitu
kayu-kayu atau sejenisnya yang digunakan untuk menyambung anggota tubuh yang
retak dan putus sedangkan al-Lashuq adalah sesuatu yang digunakan untuk menutup
luka seperti kapas, sobekan kain atau sejenisnya. Maka seandainya seseorang
membutuhkan penggunaan perban untuk anggota tubuh yang retak atau putus atau
menggunakan plester untuk sebuah luka karena khawatir terhadap sesuatu yang
terjadi pada anggota tubuh yang sakit sebagaimana telah dijelaskan oleh kitab asal(matan)
maka gunakanlah perban dan plester tersebut dalam kondisi suci seperti halnya
penggunaan Khuf (kaos kaki tahan air) kemudian menutup anggota tubuh yang tidak
sakit yang berada di bawah keduanya sesuai dengan kadar kebutuhan agar bisa
melekat. Maka seandainya hal tersebut tidak bisa dilakukan maka hukumnya akan
dijelaskan nanti. Seandainya orang tersebut khawatir melepas keduanya karena
takut akan terjadi sesuatu terhadap luka tersebut maka wajib membasuh anggota
tubuh yang bisa dibasuh meskipun dengan memberikan upah kepada orang lain
karena telah melakukan hal tersebut, seperti yang telah dilakukan dalam bab
wudhu’. karena sakitnya sebagian anggota tubuh itu tidak dapat bertambah ketika
anggota tersebut hilang. Sehingga seandainya sebagian anggota tubuh tersebut
dihilangkan maka wajib membasuh anggota tubuh yang tersisa. Maka begitu pula
wajib membasuh anggota tubuh yang telah disebutkan dalam bab ini. Wajib dibasuh
juga meskipun anggota tubuh yang tidak sakit tersebut terletak di bawah perban
dengan membasahi sobekan kain kemudian memerasnya atau dengan sejenisnya yaitu
sesuatu yang lembut yang lembut agar tempat itu dapat dibasuh dengan
tetesannya. Namun, jika hal itu tercegah maka anggota tersebut disentuhkan pada
air tanpa dituangkan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh imam Nawawi dan
para ulama. Imam Nawawi menyebutkan hal tersebut dalam kitab Tahqiq dan
lainnya. pendapat yang dikatakan bahwa
beliau berkata: mengusapnya dengan air adalah pendapat yang lupa. Maksud ucapan
seperti hal tersebut adalah hanya sebuah tambahan. Wajib meratakan pengusapan perban dan plester dengan air
Ketika keduanya digunakan pada anggota yang suci apabila orang yang berhadas
membasuh anggota yang sakit dengan tertib. Berbeda dengan orang junub yang
dapat membasuh anggota yang sakit kapan saja Ketika dia mau. Adapun pengusapan
tersebut karena hadits nabi yang menjelaskan tentang orang yang memiliki luka
di kepala yang mana dia mimpi basah
kemudian dia mandi besar dengan cara memasukkan air ke dalam luka kepalanya kemudian
dia meninggal. Padahal sebenarnya dia hanya cukup bertayamum saja dan membalut
kepalanya dengan sobekan kain kemudian dia mengusapnya dan membasuh sisa
tubuhnya yang masih sehat diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. Adapun
meratakan usapan itu karena mengusap
diperbolehkan karena dharurat seperti halnya tayamum. Lafadz al-Maai itu
mengecualikan debu maka tidak wajib mengusap dengannya (debu) sebagaimana
penjelasan yang akan datang. Pengusapan tersebut dibatasi dengan waktu karena
dalam masalah ini tidak berlaku hukum Tauqif (berasal dari Allah dan rasul)
karena penutup itu tidak boleh dilepas karena masih adanya luka sehingga
berbeda dengan masalah muza (kaos kaki tahan air). Setelah semua sudah
ditetapkan aku mengatakan: wajib tayamum karena ada hadits yang telah berlalu
tentang orang yang memiliki luka kepala dan tayamum ini sebagai pengganti
membasuh anggota yang sakit. Sedangkan mengusap penutup sebagai ganti dari
membasuh anggota tubuh yang sehat yang
berada di bawahnya. Sebagaimana keterangan dalam kitab Tahqiq dan lainnya. Oleh
karena itu, pendapat Imam Rafi’i diragukan yang mengatakan bahwa hal tersebut
sebagai ganti anggota yang berada di bawah perban. Sehingga Qadhiyah dari hal
tersebut jika penutup itu hanya sebatas daerah yang sakit saja atau lebih
kemudian dia membasuh semuanya maka tidak wajib mengusap. Pendapat inilah yang
jelas, maka ucapan ulama yang mengatakan wajib mengusap itu hanya berlaku dalam
kondisi umum karena penutup itu mencakup tambahan yang berada pada anggota yang
sakit dan tidak dibasuh (Asna Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, 1:81).
0 Response to "TATA CARA BERWUDHU’ UNTUK ORANG YANG MEMAKAI PERBAN"
Posting Komentar