HUKUM CHILDFREE

 

HUKUM CHILDFREE

Istilah Childfree yang sedang ramai di perbincangkan merupakan sebuah keputusan dari pasangan suami-istri setelah menikah tanpa ingin memiliki keturunan sampai akhir hayatnya tanpa adanya gangguan alat reproduksi kini menjadi trending topic di beberapa media sosial di Indonesia.

Bagaimana hukum wanita yang memutuskan childfree (tidak mau punya anak)?

A.    Haram

الرَّابِعَةُ الْخَوْفُ مِنَ الْأَوْلَادِ الْإِنَاثِ لِمَا يُعْتَقَدُ فِي تَزْوِيْجِهِنَّ مِنْ الْمَعَرَّةِ كَمَا كَانَتْ مِنْ عَادَةِ الْعَرَبِ فِي قَتْلِهِمْ الْإِنَاثِ فَهَذِهِ نِيَّةٌ فَاسِدَةٌ لَوْ تَرَكَ بِسَبَبِهَا أَصْلَ النِّكَاحِ أَوْ أَصْلَ الْوِقَاعِ إِثْمٌ بِهَا لَا بِتَرْكِ النِّكَاحِ وَالْوَطْءِ فَكَذَا فِي الْعَزْلِ وَالْفَسَادِ فِي اعْتِقَادِ الْمَعَرَّةِ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللّٰهِ صَلّٰى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدُّ وَيُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ امْرَأَةٍ تَرَكَتْ النِّكَاحَ اِسْتِنْكَافًا مِنْ أَنْ يَّعْلُوْهَا رَجُلٌ فَكَانَتْ تَتَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ .( إحياء علوم الدين:  ج 2، ص 52)

Keempat adalah orang memilih tidak punya anak karena khawatir anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, sementara ia berkeyakinan bahwa menikahkan anak perempuan merupakan aib sebagaimana keyakinan orang Arab Jahiliyah tempo dulu yang sampai membunuh anak-anak perempuan mereka. Inilah tujuan yang salah dan tidak dibolehkan agama. Bahkan andaikan karena keyakinan seperti ini kemudian orang memilih tidak menikah atau tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, maka ia berdosa. Dosanya bukan karena ia tidak menikah, tidak bersetubuh dengan istrinya setelah pernikahan, atau karena memilih ‘azl (menumpahkan sperma di luar vagina saat bersetubuh), akan tetapi berdosa karena keyakinannya yang salah atas sunnah Nabi saw (memiliki anak). Dosanya seperti dosa perempuan yang enggan menikah karena sombong nanti akan ‘dihegemoni’ oleh lelaki yang menjadi suaminya (Ihya’ Ulum al-Din, 2:52).

الْخَامِسَةُ إنْ تَمْتَنِعَ الْمَرْأَةُ لِتَعَزُّزِهَا وَمُبَالَغَتِهَا فِي النَّظَافَةِ وَالتَّحَرُّزِ مِنَ الطَّلْقِ وَالنِّفَاسِ وَالرَّضَاعِ وَكَانَ ذَلِكَ عَادَةَ نِسَاءِ الْخَوَارِجِ لِمُبَالَغَتِهِنَّ فِي اسْتِعْمَالِ الْمِيَاهِ حَتَّى كُنّ يَقْضِيْنَ صَلَوَاتِ أَيَّامِ الْحَيْضِ وَلَا يَدْخُلَنَّ الْخَلَاءَ إلَّا عُرَاةً فَهَذِهِ بِدْعَةٌ تُخَالِف السُّنَّةَ فَهِيَ نِيَّةٌ فَاسِدَةٌ وَاسْتَأْذَنَتْ وَاحِدَةٌ مِنْهُنَّ عَلَى عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا لَمَّا قَدِمَتْ الْبَصْرَةَ فَلَم تَأْذَنْ لَهَا فَيَكُونُ الْقَصْدُ هُوَ الْفَاسِدَ دُونَ مَنْعِ الْوِلَادَة .( إحياء علوم الدين:  ج 2، ص 52)

Kelima, motif perempuan menolak wujudnya anak karena terlalu higenis, terlalu ketat menjaga kebersihan diri, tidak mau melahirkan, tidak mau nifas dan tidak mau menyusui bayi, seperti tradisi perempuan-perempuan golongan Khawarij yang selalu berlebihan dalam menggunakan air untuk membersihkan diri. Bahkan mereka sampai mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat haid dan tidak masuk ke kamar mandi kecuali secara telanjang. Perbuatan seperti ini juga merupakan perbuatan yang buruk dan rusak menurut agama. Namun demikian, berkaitan motif seperi ini, yang rusak adalah motifnya, bukan sikapnya menolak wujudnya anak (Ihya’ Ulum al-Din, 2:52).

B.     Boleh

Adapun untuk melakukan penundaan pada kehamilan maka hukumnya adalah Makruh.

وَإِنَّمَا قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيْهِ لِأَنَّ إثْبَاتَ النَّهْيِ إنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ وَلَا نَصَّ وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ وِهُوَ تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلاً أو تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْس بِارْتِكَابِ نَهْيٍ وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ النُّطْفَةِ فِي الرَّحِمِ. (إحياء علوم الدين: ج 2، ص 51)

“Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyâs pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyâs yang dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyâs yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzâl atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan  (Ihya’ Ulum al-Din, 2:51).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUKUM CHILDFREE"

Posting Komentar